Perceraian orang tua membuat sang anak kehilangan sentuhan kasih sayang. Dunia malam dan narkoba jadi pelampiasan.
Ahmadi (bukan nama sebenarnya) memiliki keluarga yang sangat bahagia. Ayahnya, Usman, seorang Kepala Desa yang cukup dihormati di kampungnya. Sedangkan ibunya sering terlibat dalam kegiatan majelis taklim dan PKK. Keluarga besar ini memiliki lima orang anak, tiga cowok dan dua cewek.
Selain menjabat Kepala Desa, Usman memiliki usaha sampingan. Dia punya 3 hektar tambak dan beberapa petak sawah. Selain itu, juga memiliki 3 unit traktor. Jika musim tanam tiba, traktor miliknya sering menggarap sawah warga. Bagi warga kurang mampu, ada keringanan. Ongkos bajak sawah tersebut boleh dibayar saat panen tiba. Kebutuhan pupuk juga disediakan dan harus dibayar seusai panen.
Dua anak lelakinya yang sudah dewasa menikah. Mereka hidup bahagia dengan keluarga masing-masing. Begitu juga dengan anak perempuannya, menikah dengan seorang pemuda yang dikenal cukup saleh di kampungnya. Suami anak perempuannya memiliki tambak dan beberapa hektar sawah. Sejauh ini, kehidupan mereka rukun-rukun saja.
Petaka itu mulai muncul ketika sang Ayah menikah lagi dengan wanita lain. Awalnya, anak mereka menentang perkawinan tersebut. Mereka beralasan, sejauh ini hubungan orang tuanya rukun-rukun saja. Hidup mereka juga berkecukupan. Tapi protes anak-anaknya tersebut tak menghalangi niat sang Ayah untuk tetap beristri dua.
Sejak itu, kehidupan kehidupan mereka mulai kacau dan berantakan. Beberapa kali warga mendengar percekcokan di antara keluarga yang dulu sangat dihormati di kampung itu. Tapi, pertengkaran kecil itu tak sampai membuat perkawinan dengan istri pertama bubar. Mereka masih hidup bersama, sekalipun sang Ayah mulai sering pulang ke rumah istri muda.
Akibat perkawinan kedua Ayahnya, dua anaknya (satu cowok dan satu cewek) mulai merasakan berkurangnya perhatian sang Ayah untuk mereka. Jika dulu, semua kebutuhan sekolah dan uang jajan terpenuhi. Tapi kini uang jajan mulai berkurang. Kebutuhan dana untuk membeli keperluan sekolah, seperti buku, mulai tersendat-sendat. Malah, anak perempuannya meminta dibelikan satu unit sepeda motor untuk ke sekolah juga tak dipenuhi.. Hubungan anak dan sang Ayah menjadi renggang.
Anaknya yang cowok sudah mulai jarang menginap di rumah. Dia sering tidur di Meunasah atau di pos jaga. Bahkan dia mulai sering menginap di rumah teman sekolahnya. Pergaulan dia semakin luas. Apalagi, dia juga sering berkumpul dengan teman-teman bermain bola voli.
Di sinilah dia mulai berkenalan dengan ganja. Mereka sering menghisap ganja di rangkang tambak atau di pinggir sawah. Dia pun mulai sering bergaul dengan kalangan orang dewasa di kampungnya yang juga sering menghisap ganja. Awalnya hanya sekadar kumpul-kumpul. Lama-lama dia pun mulai mencoba narkoba jenis lain yang masuk ke kampungnya sejak dua tahun terakhir.
Awalnya, dia memperoleh ganja itu secara cuma-cuma. Apalagi dia sering diminta bantu membeli rokok. Belakangan, karena ketagihan, dia pun sudah mulai membeli sendiri. Tak ada lagi ganja gratis yang bisa dinikmati olehnya. Untung soal uang, dia tak bermasalah. Dia bisa minta sama orang tuanya. Jika pun tak dikasih, dia masih bisa mencuri padi yang disimpan di rumah.
Waktu minta uang sama orang tua, dia berdalih untuk bayar iuran bulanan sekolah, membayar uang di balai pengajian atau biaya untuk berlatih bola voli. Segala macam alasan digunakan saat meminta uang dari Ayahnya. Ada yang berhasil, tapi sering juga tak dikasih.
Sementara rumah tangga orang tuanya di ambang kehancuran. Ayah dan ibunya beberapa kali terlibat pertengkaran kecil dan besar. Rumah tangga yang harmonis, bahagia dan damai seperti dulu sudah tak ada lagi. Tak ada lagi suasana kekeluargaan di meja makan.
Kehidupan rumah tangga orang tuanya yang dibangun selama lebih 20 tahun itu berakhir sudah. Karena tak ada lagi titik temu, Ayah dan ibunya memilih berpisah. Mereka bercerai. Sejak itu, Ayahnya sudah jarang pulang. Lebih sering berada di rumah istri mudanya. Apalagi, dari istri muda itu, Ayahnya punya dua anak kecil.
Ibunya sudah sering sakit-sakitan. Dia hidup seperti orang kehilangan arah, dan jarang terlibat dalam kegiatan PKK atau majelis taklim. Karena sakitnya kian memburuk, dia jadi lebih sering beristirahat di rumah. Dari hari ke hari, kondisi tubuhnya melemah dan kehilangan gairah. Entah beban hidup yang kian berat atau kondisinya anaknya yang sudah tak terkontrol. Lama menderita sakit, sang ibu pun menghadap Allah.
Sejak ibunya meninggal, Ahmadi bukannya berubah. Padahal, semasa hidupnya, sang Ibulah yang sering menasehatinya agar kembali ke jalan yang benar, tidak menghisap ganja apalagi narkoba. Kini Ibunya telah tiada. Kehidupannya benar-benar kacau. Dia mulai membeli narkoba seperti sabu dan heroin. Kalau tidak ada uang, sesekali dia mencuri barang yang ada di rumah dan dijualnya. Yang penting bisa membeli barang haram itu.
Perubahan sikap mulai terlihat. Dia tak pernah lagi ikut pengajian. Bawaannya mudah marah, bahkan sering bicara sendiri. Hubungan dengan kakaknya juga tak lagi baik. Bahkan, dia beberapa kali terlibat pertengkaran kecil dengan suami kakaknya. Setiap hari ada saja kasus yang membuat hubungan mereka renggang. Mulai dari soal telat pulang, soal makanan hingga saling sindir. Suatu hari, dia ambil sepeda miliknya suami kakaknya. Karena tak minta izin, saat pulang dia disemprot oleh suami kakaknya. Suami kakaknya takut sepeda itu akan dijualnya seperti kejadian yang sudah-sudah. Nyaris saja mereka bertengkar kalau tak dilerai oleh tetangga. Karena marah, Ahmadi menghancurkan sepeda itu dengan cara memotong bannya serta membanting sepeda dengan keras hingga rusak parah.
Sementara adiknya, Nur, yang melanjutkan studi di sebuah akademi keperawatan juga sudah mulai jarang pulang ke rumah. Dia lebih sering menginap di tempat temannya di kota. Terakhir, dia menyewa kost sendiri di kota. Ini pula yang menjerumuskannya ke dunia malam. Awalnya, hanya nongkrong-nongkrong dengan teman-temannya di taman kota. Beberapa teman kampusnya sudah ada yang menggeluti kehidupan malam, seperti jadi wanita penghibur dan pemuas nafsu pria hidung belang. Alasannya macam-macam, seperti untuk mencukupi biaya kuliah, membeli pakaian atau gadget model terbaru.
Teman-teman kuliahnya juga sebagian sudah terlibat narkoba. Mereka awalnya hanya menemani Om-om mengisap narkoba di sebuah hotel. Lama-kelamaan, mereka pun jadi ikut-ikutan. Dari soal narkoba ini, si Nur, lalu terjebak dalam dunia esek-esek beraroma narkoba. Dia jadi lebih sering menginap di losmen ketimbang di kostnya. Biaya kuliah yang mahal serta ketergantungan pada barang haram itu membuatnya mengambil jalan pintas: menjual diri.
Orang di kampung tak ada yang tahu sepak-terjang anak Kepala Desa itu. Apalagi, tak ada tanda-tanda perubahan apapun pada dirinya. Hanya saja, fisiknya terus menyusut. Jika sebelumnya dia terlihat begitu sehat, maka sejak konsumsi narkoba serta terlibat sebagai wanita penghibur, daging di tubuhnya terus menyusut. Dia jadi sangat kurus.
Suatu hari, karena terlalu fly sehabis menghisap narkoba, dia tak menggunakan kondom ketika berhubungan dengan Om yang sering membooking. Akibatnya, hubungan badan itu berakibat fatal. Beberapa minggu kemudian dia merasa ada sesatu yang berubah di tubuhnya. Dia jadi telat haids. Bingung. Dia pun membeli alat tes kehamilan. Dia baru sadar bahwa di perutnya kini ada benih-benih janin. Dia hamil.
Tak hilang akal, dia ambil jalan pintas dengan menggugurkan kandungan itu pada seorang dukun anak di kecamatan lain. Sehingga tak ada seorang pun yang tahu bahwa dia pernah hamil. Anehnya, hal itu belum membuatnya sadar. Dia masih terjebak dalam dunia malam dan makin ketergantungan terhadap narkoba. Jika dulu, dia sering hisap bersama teman-temannya, kini kakaknya, Ahmadi, juga mulai ikut bergabung. Mereka saling berbagi barang haram itu.
Lama-lama, orang-orang di kampung mulai curiga. Apalagi, Ahmadi (kakanya) semakin sering bicara sendiri, teriak-teriak tengah malam. Di pos jaga dia kadang-kadang berlagak penceramah dan berceramah agama. Makin hari hidupnya semakin tak menentu. Dia seperti orang sakit. Orang seisi kampung tahu, dia memakai narkoba.
Ayahnya mulai sadar, bahwa anaknya terjebak dalam dunia hitam itu tak terlepas dari kurangnya kasih sayang. Dia tak ingin anaknya jadi orang gila benaran. Dia pun minta bantuan polisi untuk menangkap anaknya, apalagi membuat kegaduhan dalam sebuah rapat di Meunasah. Saat itulah dia ditangkap oleh polisi. Cuma semalam mendekam dalam sel Polsek, dia pun dibawa ke rumah sakit jiwa di Banda Aceh. Beruntung, dia belum gila benaran. Sehingga hanya dua minggu di rumah sakit jiwa itu, dia dijemput kembali oleh keluarganya. Dengan alasan berobat di pengobatan alternatif, dia dibawa ke sebuah pesantren. Selain bisa berobat, dia juga dapat memperdalam ilmu agama.
Berkat bantuan seorang Teungku, Ahmadi berangsung-angsur pulih dari penyakit gila yang dideritanya. Apalagi sejak di pesantren dia mulai jauh dari segala macam barang haram itu. Saat itulah dia sadar, bahwa narkoba hampir membuatnya gila permanen. Dia pun menyesal dan berniat memperbaiki keluarganya, terutama adiknya yang terlibat narkoba dan menjadi wanita malam.
Setahun setelah berada di pesantren, dia pulang ke kampung. Dia mulai mengontrol sepak-terjang adik perempuannya. Bahkan, suatu hari, dia dapati adiknya menghisap sabu di kamar rumah. Ahmadi marah dan memukul adik perempuannya itu. Dia baru berhenti setelah sang adik berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Sejak itu, kehidupan adiknya benar-benar berubah. Bahkan terakhir, dia menikah dengan pacarnya, tanpa mempersoalkan dia pernah hamil dan menggugurkan kandungannya.[]
Oleh Taufik Al Mubarak