TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA – Beberapa tahun lalu, bandar masih berani menyimpan narkoba dagangannya di kompleks penjara. Juga mengendalikan keuangan dengan menyimpan uang di rekening sendiri.
Kini modus itu bergeser. Bandar makin bersih. Mereka tidak lagi menyentuh dan menyimpan barang haramnya di kompleks penjara. Mereka memindahkan gudang itu di luar, begitu juga model transaksi. Bandar menggunakan rekening bank atas nama orang lain. Umumnya rekening orang yang dipercaya sebagai kasir.
Kabid Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jatim, AKBP Basuki Effendhy, menyebut modus ini mirip perusahaan penyedia barang.
Faktor terpenting pengendalian bisnis ini adalah ketersediaan alat komunikasi, khususnya ponsel dan jaringan internet.
”Kuncinya ponsel. Selama mereka memiliki ponsel dan internet, mereka bisa leluasa mengendalikan jaringannya. Mereka tidak perlu memegang atau melihat narkobanya. “Bandar cukup mengatur jalur distribusi dari penjara lewat ponselnya. Setelah dibayar, dia mengeceknya lewat e-banking,” ungkapnya.
Ponsel itulah yang selama ini menjadi pusaka sakti para bandar, hingga tetap lancar menggerakkan jaringan, lokal maupun internasional.
Penggunaan ponsel di penjara sudah menjadi rahasia umum. Para napi berkelas dan berduit, dengan leluasa menggunakan piranti itu.
“Tahanan yang kere (miskin) seperti saya, biasanya nyewa. Dipinjam narapidana lain, tapi harus bayar, kayak pakai telepon di wartel,” tutur MH, mantan napi yang meninggalkan Lapas Kelas I di Jatim 2012 lalu.
Meski miskin, MH sebenarnya mampu membeli ponsel. Tapi MH tidak bisa membawanya masuk penjara. Sebab ada hitung-hitungan biayanya. Harus bayar ke penguasa blok dan menyogok petugas.
“Kalau tahanan yang top-top, ya santai saja pakai ponsel,” kenang MH.
Penggunaan ponsel itu tentu lewat jalur belakang. Ketentuan di lembaga pemasyarakatan (lapas) maupun rumah tahanan (rutan) tegas-tegas melarang penggunaan ponsel. Jangankan penghuni, pengunjung saja dilucuti.
Dengan prosedur pemeriksaan di pintu masuk, mustahil pengunjung, apalagi penghuni bisa membawa masuk ponsel. Di Rutan Medaeng misalnya, pemeriksaan barang dilakukan hingga tiga lapis. Itu belum termasuk loket pendaftaran dan antrean. Begitu pula dengan Lapas Narkoba Madiun. Pemeriksaan barang masuk sangat ketat. Satu-satu jalan memasukkan barang adalah main mata dengan oknum petugas yang mau disogok.
Fakta banyaknya piranti komunikasi itu bisa dilihat saat Rutan Kelas I Surabaya Medaeng menggelar operasi pertengahan tahun lalu. Razia berlangsung tiga hari itu menemukan 107 ponsel dan narkoba seberat 249,99 gram dan ratusan alat pemanas sabu.
Razia Rutin
Basuki menjelaskan, dalam jaringan ini selalu ada tempat yang dinamakan gudang yang tentunya terletak di luar penjara. Seorang bandar kemudian membentuk struktur kerja seperti perusahaan jasa. Ada penjaga gudang, pengelola keuangan atau kasir, dan kurir-kurir.
Pola distribusi narkoba diawali dengan komunikasi antara bandar di penjara dengan pemesan. Setelah jumlah narkoba dan harga disepakati, transaksi pun dilakukan. Bandar mengirim nomor rekening kasir. Bisa juga setelah uang masuk, kasir mengonfirmasi ke bandar.
Bandar lantas memerintahkan penjaga gudang untuk menyediakan narkoba sesuai order. Setelah itu, ada beberapa kurir yang ditugaskan bandar mengambil. Mereka tidak saling mengenal. Bahkan, para kurir itu juga tidak akan tahu di mana alamat penjaga dan gudangnya.
Kurir hanya ditugasi mengambil barang dari penjaga gudang di suatu tempat. Narkoba tersebut lantas diserahkan kurir lain, di tempat terpisah. Minimal ada dua mata rantai kurir sebelum barang sampai ke pemesan.
Dari kurir kedua inilah narkoba sampai ke tangan pemesan. Namun, pemesan pun juga biasanya mengutus kurirnya. Terlalu berisiko bagi pemesan kalau mengambil narkoba itu sendiri.
“Intinya ada di gudang. Hampir semua bandar besar memiliki gudang. Karena tidak mungkin mereka menimbun narkoba dalam jumlah besar di penjara. Terlalu berisiko,” ungkap Basuki.
Narkoba yang ada di gudang, elas jumlahnya tidak sedikit. Sekali transaksi, nilainya minimal ratusan juta rupiah. Untuk membongkar jaringan narkotika berpola seperti ini, polisi atau BNNP membutuhkan tenaga ekstra. Pasalnya, untuk mendapatkan bandar yang ada di penjara, aparat penegak hukum harus menelusuri jaringan mulai dari hilir sampai hulunya. Mulai kurir, pemesan, kasir baru sampai ke bandar.
Kepala Lapas Klas I Madiun, Pargiyono, mengakui beberapa kali kecolongan adanya ponsel masuk sel. Padahal dari segi prosedur pemeriksaan barang masuk, Pargiyono berani menjamin tidak akan ada barang terlarang yang bisa lolos.
Pargiyono mencurigai ada anak buahnya yang nakal dan terus diusutnya. Untuk mengantisipasi razia rutin dilakukan. Terakhir, pada akhir November lalu petugas merazia kamar-kamar di lapas. Hasilnya, ditemukan 18 handphone.
Razia rutin juga dilakukan di Rutan Medaeng. Kepala Rutan Klas I Surabaya Medaeng, Kadiono menegaskan, pihaknya menggelar razia rutin dan insidental atau inspeksi mendadak ke sel-sel penghuni.
“Berbagai peralatan komunikasi juga banyak disita,” katanya.
Sejak menjabat Juni lalu, Kadiono menerapkan pengetatan kunjungan dan menginstruksikan semua petugasnya lebih teliti berulang kali.
“Akan lebih bagus lagi, kalau ke depan Rutan Medaeng dilengkapi fasilitas scaning layaknya bandara,” katanya. (idl/ian)