Kisah Miris Mantan Bandar Narkoba

0
1289
Facebook
Twitter
Google+
Pinterest

LELAKI tua itu duduk menyandar pada salah tiang balai di ujung desa. Matanya selalu memandang tiap pengguna jalan yang lewat. Wajahnya kadang menoleh ke kiri, kadang ke kanan. Tergantung dari arah mana pengendara melaju. Di sela-sela jarinya terselip rokok gudang garam merah yang tinggal setengahnya lagi. Dia menghisap kuat-kuat, lalu mengepulkan asapnya ke udara. Bau dari rokok yang kerap dilabeli rokok dukun itu cukup menyengat.

Boleh dibilang, lelaki yang ditaksir berumur lebih 67 tahun itu, saban hari menghabiskan waktu di balai tersebut. Sejak masih sekolah dasar, saya sudah melihatnya di pos jaga itu. Dulu, dia masih muda. Pakaian yang dikenakan selalu model terbaru dan necis. Rambutnya disisir rapi. Tak banyak lelaki necis di kampung kala itu, kecuali beberapa orang kaya saja. Sungguh, orang kaya di kampung yang dikelilingi tambak udang itu bisa dihitung dengan jari.

Lelaki itu, Syahrul, satu dari lima orang yang memiliki sepeda motor GL-Pro di kampung itu. Hanya toke udang yang sanggup membeli sepeda motor paling jantan ketika itu. Selain mereka, paling banter hanya sanggup membeli vespa butut. Selebihnya, sudah cukup bahagia jika kemana-mana naik sepeda.

Sekali waktu, sepulang ke kampung, saya memberanikan diri menegurnya. Awalnya, respon dia sangat dingin. Ini wajar, karena saya belum pernah berbicara dengannya. Tak sembarang orang berani bicara padanya, kecuali kalau sudah butuh amat. Maklum, dia terkenal temperamen. Namanya ditakuti hingga ke Lueng Putu. Ya, dia salah satu preman yang sangat ditakut di pasar Lueng Putu.

Karena yakin dia mengenal saya, maka saya beranikan diri menegurnya. Apalagi, dia sering melihat saya lewat pos jaga itu. Selain itu, kampung kami juga bertetangga, masih dalam satu Mukim.

“Pue haba polem?” Saya menyapanya duluan setelah mengambil posisi duduk di satu sudut di balai itu. Siang adalah saat yang tepat bersantai di situ sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus dari arah hamparan sawah.

“Pane na haba bak kamoe ureueng di gampong,” jawabnya. “Lagee nyoe sabe di sinoe. Pajan gata woe?”
“Ka baroe supot lon woe, Polem.”
“Pue na perkembangan di kota?”
“Hana that lon ikuti le lawetnyoe. Han ek ta pike politek.”
“Mantong kerja bak tempat soet?” Saya tahu dia sekadar basa-basi. Pasalnya, dia belum tentu tahu di mana saya bekerja.
“Jinoe lon kerja bacut sapue, hana tetap bak saboh tempat.”

Selagi kami bicara, seorang warga, Yah Din, mampir di balai dan bergabung bersama kami. Dia sepertinya mau ke Keude (sebutan untuk pasar ibukota kecamatan). Tapi, karena terlalu siang, dia memilih bersantai dulu di balai itu.

“Ke mana Yah Din?”
“Mau ke Lueng Putu. Beli ikan.” jawabnya. Singkat.

“Kenapa jauh-jauh harus ke Lueng Putu. Di Keude kan ada yang jualan ikan.”

“Ya, memang ada. Tapi ada keperluan lain. Di Keude kita tidak ada. Polem, na neujak bak Neuheun uroe nyoe?”

Selagi saya bicara dengan Yah Din, lelaki tua yang biasa disapa Polem itu hanya menyimak saja. Rokok gudang gudang garam yang dipegangnya itu dihisap kuat-kuat. Asap yang keluar dari ujung yang terbakar itu memenuhi langit-langit balai. Saya hampir terbatuk-batuk dibuatnya.

“Uroe nyoe hana lon jak. Kalheuh kutop ie baroe.” Saat pasang purnama seperti sekarang, petani tambak sering menghabiskan banyak waktu di tambak. Jika ada pematang yang bocor harus segera ditutup. Ini untuk menghindari bocor yang lebih besar, agar bandeng atau udang tidak lepas ke alur.

Saat matahari sudah mulai condong ke barat, sudah banyak warga yang mampir di balai itu. Saya pun meminta izin, untuk pulang.

“Polem, lon jak woe dilei beh.” Polem tak menjawab. Dia hanya mengangguk. Puntung rokok yang tinggal beberapa centi lagi dia buang. Saya cukup lega. Sudah lama saya ingin bicara dengan orang yang paling ditakuti di kampung itu dulunya. Saya berharap bisa bertemu kembali dengannya.

SETAMAT dari Sekolah Menengah Pertama (SMP), Syahrul, tidak melanjutkan sekolah lagi. Dia memilih merantau ke Medan, ke tempat saudaranya, adik bungsu Ibunya. Saat itu, tak banyak anak kampung yang berminat ke sekolah. Selain letak sekolah yang jauh di ibukota kecamatan, juga minat bersekolah mash rendah. Lulusan SMP yang melanjutkan ke SMA bisa dihitung dengan jari. Selebihnya memilih merantau ke kota, terutama ke Banda Aceh atau Medan.

Di Medan, Syahrul, membantu saudaranya dengan menjadi penjaga toko kelontong. Saudaranya, Yunus, sudah sejak kecil merantau ke Medan, dan menjadi pedagang sukses di sana. Tiap pulang ke kampung, Yunus selalu membawa pulang uang yang cukup banyak. Dia pun cukup sering mengirim uang ke kampung selama tinggal di sana. Anak-anak muda kampung, termasuk Syahrul, terobsesi mengadu dan mengubah nasib di kota. Beruntung, Syahrul memiliki famili di Medan, sehingga tidak harus berjuang sendirian.

Setahun di Medan, Syahrul sudah menunjukkan tanda-tanda bakal sukses. Dia sudah diserahi mengelola salah satu toko saudaranya di kawasan Jalan Halat. Toko yang menjual alat-alat elektronik itu awalnya disuruh jaga sama orang dari kampung tetangga. Yunus mempercayakan toko itu kepada Syahrul, agar bisa belajar mandiri. Apalagi, Syahrul dinilai memiliki bakat pedagang.

Di bawah kendali Syahrul, toko elektronik itu semakin berkembang, dan mencatat laba yang fantastik, berbeda dengan sebelumnya. Dari semula satu pintu, kini toko itu menjadi dua pintu. Saat itu, tak banyak toko yang membuka dua pintu. Toko milik Syahrul salah satunya.

Syahrul benar-benar tipe pedagang sejati. Dia sangat teliti dalam pembukuan. Semua jenis barang, dicatatnya. Uang hasil penjualan dicatat dengan sangat rapi. Sekali pun sudah mencatat sukses, dia tidak tergiur untuk hidup glamour dan berfoya-foya. Hal itu membuat saudaranya parcaya sama dia.

Setelah merasa memiliki pengalaman yang cukup, Syahrul mengutarakan niatnya untuk hidup mandiri, dan memiliki toko sendiri. Yunus, saudaranya, itu memahami keinginan itu. Dia mendukung niat Syahrul tersebut.

“Sudah dipikirkan masak-masak, Syahrul?” tanya Yunus tentang keseriusan membuka toko sendiri.
“Alhamdulillah, sudah,” jawabnya singkat.
“Membuka toko itu tak mudah, apalagi di kota Medan,” sambung Yunus lagi.
“Saya tahu itu. Tapi saya akan mencoba. Jika tak mencoba kapan bisa berhasil,” jawabnya.
“Itu bagus. Di mana mau sewa toko?”
“Rencana di Jalan Gajah Mada. Di sana belum ada toko elektronik.”
“Oke. Saya dukung. Kalau perlu apa-apa jangan sungkan, ya.”

Syahrul tahu, pamannya mau membantunya. Apalagi Syahrul perlu tambahan uang untuk sewa toko, yang masih kurang. Uang yang disimpannya tidak cukup untuk sewa toko. Dia mengaku akan meminjam dari pamannya itu.

Setelah melihat toko yang disewakan di lokasi Jalan Gajah Mada, Syahrul puas. Dia yakin, usahanya akan sukses. Belum banyak toko elektronik di kawasan itu. Ada satu toko, tapi lokasinya agak sedikit jauh dari tempat toko yang disewanya. Dia pun menyelesaikan urusan sewa-menyewa dengan pemilik toko. Uang sewa sudah cukup, setelah pamannya meminjaminya Rp10 juta.

“Tak usah pikirkan soal pengembalian. Yang penting pikirkan usaha dulu biar maju,” begitu pesan pamannya suatu ketika.

Selama tiga tahun menghabiskan waktu menjadi karyawan di toko sang paman, sampai diserahi tanggung jawab menjaga salah satu toko pamannya, Syahrul kini memulai usaha sendiri. Pengalaman yang didapat selama tiga tahun itu sudah cukup baginya untuk hidup mandiri. Dia sangat optimis usahanya akan berhasil. Dengan modal yang tidak terlalu besar, dia memenuhi tokonya dengan barang-barang elektronik. Hampir setengah barang itu dia ambil dari toko pamannya, dengan status utang. Selebihnya, dia pasok dengan modal sendiri.

Pertama-tama, hasil penjualan tidak begitu menggemberikan. Pasalnya, barang-barang di tokonya tidak begitu lengkap. Seiring perjalanan waktu, barang-barang di tokonya mulai bertambah, dan bertambah. Bahkan, barang-barang elektronik keluaran terbaru, seperti pager, walkman, dan tape recorder tersedia di tokonya. Pelanggan pun terus meningkat dari hari ke hari. Syahrul sangat gembira. Dia pun mulai merencanakan untuk melebarkan sayap dengan menyewa toko kosong di sebelahnya. Keinginan itu baru terwujud setelah 6 bulan tokonya buka.

Nasib baik memang sedang menaunginya. Dalam waktu tak sampai setahun, Syahrul sudah menjadi pengusaha yang diperhitungkan di kawasan itu. Usahanya terus berkembang. Kini tak hanya membuka toko elektronik, Syahrul juga mengikuti sukses pamannya di toko kelontong. Tak jauh dari lokasi toko elektronik itu, kini hadir toko kelontong miliknya, juga dua pintu.

SUATU hari, datang seorang pria ke toko milik Syahrul. Pria itu, rupanya orang satu kampung, yang sudah lama menetap di Medan. Bedanya, dia dari Kabupaten tetangga. Dia mengenal Syahrul dari omongan orang Aceh yang ada di sana. Syahrul awalnya tidak begitu mengenal pria itu, tapi setelah memperkenalkan diri, baru Syahrul ingat. Pria itu, namanya Ibrahim. Syahrul sudah pernah melihat pria itu sebelumnya, saat masih bekerja di toko pamannya. Saat itu Syahrul tidak begitu peduli, karena Ibrahim hanya menjumpai pamannya. Setelah basa-basi sejenak, keduanya menjadi akrab.

Ibrahim sejak kecil sudah merantau ke Medan. Awalnya dia bekerja serabutan, berpindah kerja dari satu toko ke toko lain. Hampir semua jenis pekerjaan sudah dicobanya. Dia tak punya bakat berdagang di toko seperti Syahrul. Dia pun tak punya toko di Medan. Perjumpaan Ibrahim dengan seorang preman parkir di Lapangan Teladan mengubah hidupnya. Dengan modal dari bekerja sebelumnya, Ibrahim pun terjun ke dunia preman. Tak perlu waktu lama bagi Ibrahim menjadi seorang preman. Dalam waktu singkat mampu menjadi seorang bos preman di sebuah wilayah di Medan. Dia sudah sudah mengenal kota Medan sepanjang hidupnya.

Di dunia preman itu, Ibrahim tergolong istimewa. Dia hanya mengendalikan bisnis parkir tapi juga menjadi pengedar narkoba di wilayah kekuasaannya itu. Ibrahim yang memiliki kenalan dari Aceh Besar menjadi pemasok ganja untuk wilayah Medan dan beberapa wilayah di Sumatera. Teman Ibrahim, Wisnu, menjadi penghubung dan penyuplai ganja dari Aceh ke Medan. Sampai di Medan, ganja itu ditampung oleh Ibrahim. Setelah dipaket dalam ukuran kecil, ganja itu dijual secara diam-diam di kalangan terbatas. Awalnya, pelanggannya hanya komunitas preman, tapi lama-lama oknum dari aparat keamanan juga ikut terlibat.

Dalam waktu singkat, Ibrahim menjadi penyuplai ganja dan narkoba. Sebagian barang haram jenis narkoba didapatkan dari kenalannya dari Malaysia. Pengiriman narkoba itu melalui jalur laut, memanfaatkan boat nelayan. Operasi mereka tidak terendus oleh aparat keamanan. Malah, untuk menutup mulut mereka, Ibrahim menyogok aparat dengan uang yang banyak. Bisnis mereka pun jadi lancar.

Hubungan Syahrul dan Ibrahim semakin akrab. Syahrul pun mulai terjun ke dunia hitam mengikuti jejak ibrahim. Bisnis ganja milik mereka menjadi besar. Mereka banyak mempekerjakan para preman di Medan sebagai tenaga penyuplai. Dari tukang becak sampai pejabat menjadi langganan tetap mereka. Syahrul merasa mencari uang dari bisnis narkoba lebih gampang dari toko miliknya. Pun begitu, toko elektronik dan kelontong tidak ditutup. Toko itu diminta kelola sama saudaranya yang tiba dari kampung. Usaha itu sama sekali tidak terganggu, karena saudaranya punya pengalaman dagang di kampung. Sesekali Syahrul masih mengunjungi tokonya dan mengontrol perkembangan.

Sepandai-pandai tupai melompat, suatu kali pasti jatuh juga. Nasib itu yang dialami Syahrul dan Ibrahim. Suatu kali terjadi pergantian pucuk pimpinan kepolisian di Sumatera Utara. Kapolda lama diganti dengan Kapolda baru yang punya misi memberantas perdagangan narkoba di Medan. Setelah pelantikan, Kapolda baru itu terang-terangan menyatakan perang terhadap pelaku peredaran narkoba di wilayah hukumnya. Hanya beberapa minggu setelah dilantik, aparat keamanan banyak menangkap pelaku peredaran narkoba.

Syahrul dan Ibrahim mulai merasa bisnis mereka terganggu, terutama setelah beberapa anak buahnya ditangkap. Jika sebelumnya bisnis mereka tampak lancar, kini mulai tersendat-sendat. Mereka tidak bisa lagi berhubungan dengan aparat yang biasanya mengambil barang haram itu dari mereka. Mereka mulai menjaga jarak, untuk menghindari jebakan. Tapi, itu sudat terlambat.

Saat transaksi di sebuah kamar hotel di Jalan Gatot Subroto, sudah tercium oleh aparat. Tak ada perlawanan, keduanya berikut barang bukti dan pembeli diciduk polisi. Mereka tak dapat berkilah. Hukuman penjara pun menanti mereka. Berakhirlah bisnis haram milik mereka.

Kabar itu sampai ke telinga Yunus, pamannya. Berbagai cara dilakukan untuk menebus pelepasan Syahrul. Dimulai dengan menyogok polisi, lalu jaksa dan hakim. Cukup banyak uang dihabiskan untuk mengeluarkan ponakannya dari penjara. Toko milik Syahrul satu persatu dijual, karena uang yang mereka butuhkan tidak sedikit. Syahrul yang menjadi pengusaha kaya di Medan pun bangkrut, malah beberapa tambak milik orang tuanya di kampung terpaksa dijual. Uang itu digunakan sebagai tebusan.

SUATU hari, saat pulang ke kampung, saya melihat Syahrul yang sudah tua itu di balai jaga. Seperti biasanya, dia menghabiskan waktu di pos jaga itu. Dia masih menghisap rokok gudang garam hitam. Tak ada yang mengira, dia pernah menjadi preman yang sangat berpengaruh di kota Medan. Kini, tubuhnya ringkih dan batuk-batuk. Usia membuat kulitnya mengerut, seperti membaluti tulang. [Taufik]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.