LELAKI bertubuh kurus itu tampak ramah. Namanya Mustafa, 30 tahun. Beberapa kali dia tersenyum hangat sambil menyapa rombongan yang hadir ke ruang rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Aceh.
“Neu piyoh buk,” ujar lelaki itu dengan hangat. Sosok yang disapa adalah Marlina Usman atau istri Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf. Hari itu, Kak Na, demikian sosok ini biasa disapa, sengaja berkunjung ke BNNP Aceh untuk melihat aktivitas di sana, Jumat, 28 Februari 2014.
Mustafa mengaku berasal dari Kabupaten Aceh Utara. Penampilannya terlihat necis mengenakan baju batik dipadu celana kain hitam. Di samping kanan Mustafa, ada sembilan lelaki lainnya. Mereka memakai baju batik berwarna coklat. Rambut mereka plontos, sorot matanya terlihat kosong.
Di depan Mustafa, ada Zulfikar Ali warga Ulim. Tubuh Zulfikar terlihat menggigil dan kepalanya tertunduk lesu. Zulfikar Ali dan sembilan orang lainnya adalah pecandu narkoba yang sedang menjalani perawatan di BNNP Aceh.
“Dia baru 10 hari masuk. Masih dalam proses menghilangkan racun narkoba dalam tubuhnya,” kata Mustafa. Kak Na mengangguk kecil mendengar penjelasan tersebut. Sejak melangkah ke dalam ruangan rehabilitasi, Kak Na terus memperhatikan tingkah laku ke 10 teman-teman Mustafa, termasuk Zulfikar.
“Kiban ka mangat setelah berobat? (Bagaimana sudah mendingan setelah berobat?),” ujar Marlina. “Alhamdulillah ka lumayan,” jawab mereka serentak kecuali Zulfikar dan Mustafa.
“Peu na rencana coba-coba lom barang nyan (narkoba-red),” ujar Kak Na lagi sambil tersenyum.
“Hana lee buk. Mangat lagee nyoe (Tidak lagi bu. Enak seperti sekarang-red). Pikiran bersih,” ujar salah seorang pasien. “Iya buk. Kalau sudah sehat seperti ini enak. Badan bersih dan apa yang kita lakukan gampang,” kata Mustafa menambahkan.
“Teuma di droneuh soe? (Jadi Anda siapa?)” tanya Kak Na sambil menunjuk Mustafa. “Kalau dia (Mustafa-red) sudah pulih. Sekarang dia dikontrakkan BNNP Aceh untuk mendampingi pasien ini,” ujar Kepala BNNP Aceh, Saidan Nafi. Sedangkan Mustafa hanya tersenyum dan mengangguk kecil.
Mustafa mengaku jadi pecandu narkotika sejak 2002 hingga 2011. Dia jadi pecandu karena coba-coba. “Banyak orang yang jadi candu narkoba itu orang pinter. Kalau boleh saya meminta ibu untuk menyampaikan pada Pemerintah Aceh agar bersedia menambah fasilitas rehab yang ada di sini,” kata Mustafa.
“Semakin banyak fasilitas. Maka semakin banyak yang dirawat,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Mustafa juga meminta Kak Na untuk memberikan pelatihan bagi mantan pasien seperti dirinya. Tujuannya agar mereka dapat kembali ke kehidupan masyarakat dengan mudah. “Diberikan fasilitas kalau bisa juga dikontrakkan,” ujar Mustafa sambil tersenyum.
Menyangkut hal ini, Kak Na mengatakan akan memperjuangkan fasilitas rehab yang lebih lengkap untuk mengobati pecandu narkoba di Aceh. “Setelah itu, kita juga ingin memberikan pelatihan skill kepada mereka agar setelah keluar dari sini dapat mandiri dan diterima dalam kehidupan masyarakat,” katanya.
Kepala BNNP Aceh, Saidan Nafi mengatakan, saat ini ada 20 pecandu narkoba masuk dalam daftar tunggu untuk diobati di Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Aceh. Padahal kapasitas tempat rehab yang dimiliki oleh BNNP Aceh masih terbatas. Tempat itu hanya mampu menampung pasien sebanyak 10 orang untuk diobati selama 6 bulan. Apalagi jumlah pecandu narkoba di Aceh cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya.
“Nanti di lokasi kantor kita yang baru, kita harapkan bisa menambah ruang rehab dan fasilitas. Kalau bisa, kita ingin merawat 50 hingga 100 pasien sekaligus sehingga semakin banyak yang terbebas dari narkoba,” kata Saidan Nafi lagi.
Selama ini, biaya untuk rehabilitasi pecandu narkoba memakai dana hibah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh atau APBA. “Kemudian mulai tahun 2014 juga ada pendanaan dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional),” katanya.
Bantuan dari Pemerintah Aceh di bawah Kendali Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf dinilai sangat besar. Apalagi, kata Saidan Nafi, untuk tingkat BNNP se-Indonesia, hanya BNNP Aceh yang memiliki tempat rehab pecandu narkoba. “Daerah lain belum ada karena tidak ada hibah dari pemerintah daerahnya,” katanya.
Saidan merincikan, di Aceh terdapat tiga panti rehabilitasi pecandu narkoba yaitu milik BNNP Aceh, unit rehabilitasi narkoba milik Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh, serta LSM Rumah Geutanyoe yang dibiayai oleh donor asing.
“Saat ini yang dikelola LSM hampir habis kontraknya bulan 4 nanti. Tentunya, setelah kontrak mereka habis, harapan terakhir ada pada kita (BNNP Aceh) dan RSJ Aceh,” ujarnya.
60 menit berlalu. Setelah puas berdiskusi dengan penghuni panti rehabilitasi narkoba dan mendapat penjelasan dari Kepala BNNP Aceh, Kak Na pamit. Dia hendak berkunjung ke RSJ Aceh untuk menyambangi pasien narkoba di sana.
“Nyan bek neu coba-coba lee beh,” ujar Kak Na kepada para pasien sebelum meninggalkan lokasi. “Beutoi buk. Neutulong chiet ata bunoe beh,” sahut Mustafa. [ Sumber : www.atjehpost.com ]