Tubuh mungilnya dibaluti baju casual dan celana jins, jilbab seadanya menutupi rambut pirang wanita muda ini. Suara rendah dan ‘ngebas’ yang keluar dari bibir sensualnya menambah daya tarik orang mendengarkan bicaranya. Tak mudah melupakan wanita yang mahir berkomunikasi ini. Wajah yang putih dan bersih juga membuat para nasabah pria jarang menolak ajakannya menjadi nasabah.
Hanya dengan menyandang tas yang berisi buku panduan keuangan dan kosmetik, ia berkerja dari satu warung kopi kewarung kopi lain. Kedai kopi sudah menjadi kantor bagi wanita yang baru memasuki kepala tiga ini. Kita akan mudah mengingat sosok seorang wanita mungil dengan rokoknya. Intan sudah terbisaa merokok di kedai kopi saat menjumpai calon nasabah.
“Satu hal yang tidak bisa dibeli di dunia adalah waktu, karna kita me-manage sendiri waktu dan bisa menikmati hasilnya dengan santai.” Kata Intan, berkerja di salah satu perusahaan keuangan berbasis syariah di Aceh.
Dulu ia tak peduli dari mana dan kemana uang ia habiskan. Yang penting ia bisa senang. Meskipun ia mencari uang dengan sistem syariah, ia menghabiskan uang untuk kesenangan duniawi. Semalam ia mampu menghabiskan berjuta-juta untuk pesta sabu. Bersama teman ia sering menginap di hotel berbIntang di Kota Banda Aceh. Kadang mereka menggelar pesta di suatu gedung tertutup dan melanjutkan lagi pesta sabu di sebuah rumah hingga pagi.
Kepada penulis ia mengaku, empat tahun lalu, sering mendapatkan job tambahan menemani tamu di tempat karaoke.
“Tidak terlalu sering sih, hanya nasabah yang sudah kenal saja. Mereka Cuma suntuk di rumah, lalu kami janjian ketemu keluar ke tempat karaoke untuk melepaskan suntuk,” aku Intan, minggu lalu saat diwawancara. Terkadang nasabah membayar mereka sabu yang dihabiskan malam itu.
Kini perannya sebagai single parent sudah berubah dan bewajah baru. Ia harus memiliki waktu luang untuk mengurus anak sendirian. Perannya sebagai ibu untuk putri semata wayangnya yang masih duduk di taman kanak-kanak. Juga harus menjadi ayah untuk menjaga dan menyekolahkan anaknya. Intan merasa pekerjaan marketing seperti konsultan keuangan sesuai dengan dirinya.
Terkadang ia juga ditawarkan sebagai kurir sabu di antara oleh teman-teman lamanya. Ia menolak karena masih ingat anak yang ia sayangi. Ia merasa cukup menderita melihat anaknya yang menderita karena penyakitnya. Jangan sampai anaknya merasakan menjadi anak seorang pengedar narkoba. Kalaupun ia bersalah sebagai mantan pemake itu menjadi masalalu dan titik balik untuk kembali.
“Saya insaf karena anak saya pernah kritis di rumah sakit,” Intan membuka kisahnya insaf dari pecandu narkoba. Tidak seberapa menyakitkan menahan rasa sakau, kalau dibandingkan melihat anaknya setiap bulan harus dimasukkan jarum ke lengan mungilnya sambil berteriak ketakutan. Ia tak sanggup pelihat penderitaan Adek, anaknya.
“Anak saya pernah bilang bilang ‘ma doain Adek sembuh ya, supaya kita bisa sekolah kayak dulu’,” kenangnya dengan mata berkaca. Anaknya mengalami penyakit thalassemia, yang sulit disembuhkan. Anaknya kerap menerima transfusi darah setiap dua bulan sekali. Dari situlah Intan berubah drastis dan konsen menjaga anaknya. Sering kepikiran kalau penderitaan anaknya, akibat perbuatannya dahulu.
Adek (bukan nama sebenarnya) dari usia tiga tahun sering kelihatan pucat dan lemas. Intan pikir Adek hanya diserang penyakit bisaa saja seprti demam yang dialami balita. Setelah setahun baru dokter memfonis Adek terkena penyakit serius itu. Seakan dunia runtuh saat ia mendengar anaknya tidak bisa disembuhkan. Dokter menyarankan ia cukup diberi transfusi darah setiap bulan karena belum ditemukan obat untuk penyakit ini.
Dari penjelasan dokter, Intan mendapat info bahwa thalassemia adalah kelainan darah yang diturunkan yang mana tubuh tidak memproduksi cukup hemoglobin sehingga mengakibatkan jumlah hemoglobin di dalam tubuh sedikit. Sehingga Kulit dan mata Adek kekuningan, lemas dan tidak sanggup bermain seperti anak lain.
Setelah enam bulan menjalani perawatan intens, Adek mengalami kemajuan karena cepat diketahui, ia hanya menjalani transfusi saat Adek membutuhkan. Biasanya tiga bulan, kadang tahan sampai lima bulan barulah ia membawa Adek ke rumah sakit.
Titik balik
Saat Dokter menceritakan penyakit yang diidap anaknya, dalam hati Intan berjanji untuk bertaubat dan kembali menjadi ibu yang bertanggung jawab. Namun jalan kembali kepada-Nya tak mudah, Intan kerap stres dan akhirnya mendapati jalan buntu, dan kembali menggunakan sabu untuk membuat hidupnya tenang.
Namun saat pulang ke rumah, ia kembali bersujud dan meminta Adek diberikan umur panjang. Ia tidak ingin anaknya yang harus menanggung semua kesalahan masalalu. Biarlah cukup ia yang merasakan pahitnya dunia kelam hidup di kota besar.
Setelah ia bertemu dengan seorang teman lamanya, Saman (bukan nama sebenarnya) yang rela menjadi pendonor tetap untuk Adek. Ia terenyuh saat melihat Intan duduk di bangku rumah sakit. Intan yang Saman kenal sebagai seorang sosialita yang banyak duit, ia lihat amburadul saat itu.
Intan mengisahkan, kalau saat itu, Saman tidak mengenal Intan. Intan harus menjelaskan dirinya teman SMA dulu. Intan menangis sambil bersandar di sandaran bangku, memohon kepada Saman untuk mendonorkan darah. Awalnya Saman ragu karena Saman ingin membuat Intan jera. Namun mata anak kecil polos seperti Adek tak bias ditolak oleh Saman.
Saman sangat mengenal Intan, sejak SMA ia sudah dicap anak bandel, pemake dan pinter cari uang. Dengan kecantikannya Intan sering mendapat gratisan dari cowo-cowok teman sepermainannya. Sudah menjadi rahasia umum di sekolah, Intan sering memakai sabu dan bolos sekolah.
Intan mengenang saat-saat baru menjadi pecandu dari zaman SMA dulu. Awalnya, ia mencari pekerjaan di sebuah hotel dengan menemani om-om di karaoke sebuah hotel. Dari situlah teman-teman lain yang sudah berpengalaman menawari dan merayu Intan untuk mencoba narkoba dengan berbagai cara.
“Nggak usah takut kecanduan, kalau kita rajin kerja, kita selalu dapat gratis,” ujat teman Intan ssat itu. Kehidupan mereka sangat mewah saat itu. Seorang teman yang kaya, menghidupi mereka hingga membayar biaya menginap di hotel selam berminggu-minggu. Party dimulai dari tempat tersebut, tidak jarang pula ia melakukan hubungan intim dengan para tamu yang meminta mereka dari lapak karaoke. Anehnya, kehidupan mereka aman dari serbuan Wilayatul Hisbah (WH) Kota Banda Aceh.
Jika lagi kaya, pada akhir pekan Intan dan teman-teman pergi ke Medan untuk dugem. Lagi-lagi mereka menggunakan narkoba jenis ekstasi atau pil yang bisa buat tubuh bergoyang. Setidaknya setiap dua bulan sekali mereka pergi dengan menggunakan mobil teman sepermainan.
Seakan Intan tak takut tuhan menggugurkan kandungan sudah biasa, hanya dengan menegak sejumlah ramuan obat. Berulang kali ia menyesalinya, namun ia tak bisa mempertahankan anak yang tak mau diakui oleh sang pacar. Bertahun-tahun dia diancam akan dicampakkan oleh sang pacar, jika tidak menggugurkan anak yang sedang ia kanggung. Seakan sudah biasa dengan aborsi, ia menjalani dengan santai dan tidak takut akan dosa.
Ia juga sempat merasakan dikejar polisi saat sedang menggunakan sabu. Sebagai pekerja malam, ia sering suntuk pada saat siang hari, Intan mendatangi rumah teman yang berprofesi sebagai bandar narkoba. Lalu mereka pergi ke sebuah sawah dan menikmati sabu di sebuah pondok di perkampungan, di Aceh Besar. “Banyak barang siap isap, yang diselip disetiap lapisan papan, dinding pondok,” kata Intan. Pada saat sedang seru mengisap untuk yang kedua kalinya, terdengar rebut-ribut dari kejauhan. Seorang teman mengintip dari lubang dinding, lalu teriak ‘Polisiiii !!!’. Masih untung nasib Intan dan seorang teman perempuannya tidak berakhir di tangan polisi.
Bertemu seorang pria
Suatu hari seorang pelanggan karaoke menawarkan ia bekerja menjadi konsultan keuangan. Teman tersebut melihat potensi kecantikan dan Intan pandai bicara. Tak lama ia mendapat posisi bagus karena banyak penggaet teman-temannya dulu untuk menjadi nasabah. Penghasilan Intan semakin membaik saat itu, sehingga ia sering mentraktir teman lain saat pesta sabu. Kini ia dapat menyewa rumah mewah dan membeli mobil dari hasil kerjanya yang baru.
Saat mencari nasabah, ia bertemu dengan seorang pria yang terpesona dengan kecakapannya saat berkomunikasi. Perawakannya memang cocok untuk menjadi marketing. Lelaki ini kagum dengan cara ia menawarkan produk, dengan melihat kebutuhan si nasabah. Tak lama lelaki ini melamarnya. Namun, Intan sebagai seorang sosialita belum ingin menikah, apalagi menikah dengan kebisaaan orang Aceh, pasti suami mengekang sang istri, kenang Intan.
Jodoh tak dapat ditolak memang, karena sering bertemu, Intan lama-lama kepincut dan membutuhkan figure seorang suami. Sang lelaki maklum dengan suramnya masalalu Intan, asal Intan meninggalkan pekerjaan malam dan berhenti jadi pemake. Intan ragu, namun karena dorongan orang tua dan teman, ”kapan lagi aku mau insaf,” pikirnya. Awalnya rumah tangga berjalan mulus, Intan hanya mencuri-curi make sabu dari suami. Itupun kalau rumah teman bersedia menampung kegiatannya.
“Sebenarnya suami saya tau, tapi dia diam dulu, dia maklum juga kalau berenti total tidak mungkin,” akunya.
Pertengkaran besar pecah saat Intan memasuki kehamilan tiga bulan. Memang Rahim Intan sangat kuat dan subur. Janin nya tidak pernah bermasalah sejak ia hamil di awal-awal. Suaminya mulai menjaga dan melarang Intan keluar rumah. Intan berang, perceraian berkali-kali keluar dari mulut Intan. Saat itu, Intan sempat insaf dan memikirkan anak yang dikandungnya.
Setelah anak mungilnya lahir, berselang sebulan, Intan sakau parah. Ia meminta dibawakan sabu ke rumah saat suami kerja. Saat pulang ke rumah, sang suami tau kalau ada yang datang, dan Intan pasti make lagi. Dari situlah perceraian tak dapat dielakkan, Intan melanggar janji pada suaminya.
“Andai waktu bisa diulang kembali, saya akan bersujud pada suami saya untuk memberikan kebahagiaan kepada Adek, saya terlalu egois hanya memikirkan kebahagiaan sendiri,” aku Intan dengan sedikit berkaca-kaca. Kini penyesalan tidak berguna lagi, tapi ia cukup semangat untuk menebus kesalahan dengan membesarkan anak menjadi anak berguna, meski dengan penyakitnya.
Cobaan yang Intan terima tersebut menjadi cambuk untuk menyemangati diri menyembuhkan anak dari penyakitnya. Ia percaya, tuhan akan menerima taubat jika ia menyesali dengan sepenuh hati. Adek lah yang telah memberi jalan terang untuknya, tanpa merasa anak menjadi beban hidup seperti yang ia pikirkan dulu. [Dek Ti]