Paradigma Baru Penanganan Pengguna Narkoba di Indonesia

0
478
Facebook
Twitter
Google+
Pinterest
Kepala BNN DR. Anang Iskandar menandatangani Peraturan Bersama antara BNN, Kemenkum & Ham, Polri, Mahkama Agung, Kejaksaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, serta Jaksa Agung, di Istana Wakil Presiden, Selasa (11/3).

Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerjasama dengan Sekretariat Mahkumjakpol menyelenggarakan penandatanganan Peraturan Bersama terkait Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi.

Penandatanganan tersebut dilakukan oleh Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, serta BNN di Istana Wakil Presiden, Selasa (11/3).

Peraturan bersama ini merupakan langkah kongkret bagi pemerintah dalam menekan jumlah pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika di Indonesia.

Perubahan besar terjadi pada orientasi penanganan pengguna Narkoba pada pasca ditandatanganinya Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menkumham, Menkes, Mensos, Jaksa Agung, Kapolri dan Ka BNN dimana selama ini pengguna bermuara pada hukuman pidana penjara, kedepan pengguna Narkoba akan bermuara di tempat rehabilitasi, karena hukuman bagi pengguna disepakati berupa pidana rehabilitasi.

Undang-undang Narkotika yang berlaku saat ini menganut double track system pemidanaan terhadap pecandu, orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkoba dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkoba baik secara fisik maupun psikis, dapat dijatuhi hukuman pidana penjara atau pidana rehabilitasi.

Hakim mempunyai peran yang sangat penting dalam rangka mendekriminalisasikan pengguna Narkoba dengan menjatuhkan hukuman rehabilitasi, untuk lebih memfungsikan peran hakim tersebut perlu dukungan dari aparat penegak hukum berupa peraturan bersama.

Pada peraturan bersama tersebut dibentuk Tim Asessmen Terpadu yang berkedudukan di tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota terdiri dari tim dokter dan tim hukum yang bertugas melaksanakan analisis peran tersangka yang ditangkap atas permintaan penyidik yang berkaitan dengan peredaran gelap Narkoba terutama pengguna, melaksanakan analisis hukum, analisis medis dan analisis psikososial serta membuat rencana rehabilitasi yang memuat berapa lama rehabilitasi diperlukan. Hasil asessmen tersebut sebagai kelengkapan berkas perkara berfungsi sebagai keterangan seperti visum et repertum.

Hasil analisisnya akan memilah-milah peran tersangka sebagai pengguna murni, pengguna merangkap pengedar atau pengedar. Terhadap pengguna Narkoba murni tetap menjalami proses pidana dan diancam dengan pasal tunggal yaitu Pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana ancaman pidana paling tinggi 4 tahun, terhadap pengguna yang merangkap sebagai pengedar/ bandar dapat dilakukan pasal berlapis.

Analisis Tim Asessmen terhadap pengguna ini akan menghasilkan tingkatan pecandu mulai dari pecandu kelas berat, menegah dan kelas ringan dimana setiap tingkatan pecandu memerlukan rehabilitasi yang berbeda. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka mengoperasionalkan Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana pecandu Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Dengan ditandatanganinya keputusan bersama tersebut terjadi perubahan paradigma penanganan pengguna Narkoba dimana penangananya lebih humanis dan berorientasi pada rehabilitasi karena pengguna Narkoba akan diancam pasal pengguna saja (red : Pasal 127), sehingga menurut hukum acara (KUHAP) tidak memenuhi syarat untuk dilakukan penahanan selama proses mempertangungjawabkan perbuatannya dan hakim diharapkan menggunakan Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana hakim dapat memutuskan atau menetapkan untuk memerintahkan menjalani rehabilitasi.

Dampak yang diharapkan dari paradigma ini adalah, pertama para pengguna Narkoba yang saat ini “bersembunyi” dapat keluar dan tidak takut dihukum penjara untuk melaporkan diri secara sukarela kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) agar mendapatkan perawatan, kedua dapat memberikan pemahaman persepsi yang sama kepada masyarakat maupun para penegak hukum bahwa pidana rehabilitasi adalah hukuman yang paling tepat dan bermanfaat bagi pengguna dalam menyongsong kehidupan masa depannya, ketiga dalam rangka Lapas Reform agar Lapas tidak overload dan terakhir dapat menurunkan prevalensi pengguna Narkoba sebagai indikator tingkat keberhasilan menangani masalah peredaran Narkotika di Indonesia.

Paradigma baru ini selaras dengan konvensi-konvensi internasional tentang Narkotika yang menekankan penanganan Narkoba dengan pendekatan seimbang antara pendekatan demand (pencegahan, pemberdayaan, rehabilitasi) dan supply (pemberantasan jaringan peredaran gelap) serta memberikan alternatif penghukuman rehabilitasi bagi pengguna Narkoba.

Ketentuan tersebut di atas sudah diadopsi dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana tujuan undang-undang Narkotika tercantum dalam Pasal 4, yaitu: mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika, memberantas peredaran gelap Narkotika dan perkusor Narkotika, dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu Narkotika.

Dengan berlakunya peraturan bersama ini, pengemban fungsi rehabilitasi, yaitu Kementrian Kesehatan, Kementrian Sosial, dan BNN harus bekerja sama dan bekerja lebih keras untuk merumuskan tugas merehabilitasi 4 juta lebih warga bangsa agar berhenti mengonsumsi Narkoba untuk mewujudkan Indonesia negeri bebas Narkoba, dengan dua cara, yaitu dipaksa melalui penegakan hukum dan secara sukarela melaporkan diri ke IPWL, yaitu rumah sakit yang telah ditunjuk oleh Menteri Kesehatan yang tersebar di seluruh Indonesia. (*)

Sumber: www.bnn.go.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.