Breaking News
Home » Opini » Dekriminalisasi Penyalah Guna Narkotika dalam Konstruksi Hukum Positif Di Indonesia

Dekriminalisasi Penyalah Guna Narkotika dalam Konstruksi Hukum Positif Di Indonesia

Kepala BNN

Kepala BNN

Oleh : DR. Anang Iskandar

Dekriminalisasi penyalah guna narkotika merupakan model penghukuman non kriminal sebagai salah satu kontruksi hukum modern, yang bertujuan menekan demand reduction dalam rangka mengurangi supply narkotika illegal, dan berdampak pada penyelesaian permasalahan narkotika di Indonesia.

Menurut Undang – Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, pecandu narkotika wajib direhabilitasi, sedangkan pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dalam keadaan ketergantungan baik secara fisik maupun psikis, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) No. 4 Tahun 2010, tentang penempatan penyalah guna, korban penyalah guna dan pecandu narkotika ditempatkan ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial. Ini berarti menempatkan penyalah guna narkotika sebagai korban kejahatan narkotika.

Korban kejahatan yang bersifat adiksi membutuhkan perlakuan khusus, agar mereka mendapatkan perawatan dan perlindungan sehingga dapat kembali menjadi warga negara yang mampu berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk menanggulangi bencana narkoba, diperlukan strategi secara integral dari hulu sampai ke hilir, dimana dekriminalisasi terhadap penyalah guna dan pecandu narkotika adalah model menekan demand reduction sehingga dapat mengurangi supply narkotika illegal. Konsep ini juga memiliki dampak ekonomis terhadap penanganan masalah narkotika.

Dalam Sidang PBB di New York, Tanggal 30 Maret 1961, menghasilkan Single Convention Narcotic Drugs 1961 dan selanjutnya dalam sidang PBB di Vienna tahun 1972, konvensi ini diubah dengan Protokol 1971. Pada konvensi ini setiap negara diharuskan untuk mencegah dan merehabilitasi penyalahgunaan narkotika dengan cara memberikan edukasi, perawatan, rehabilitasi dan re integrasi sosial.

Sedangkan dalam Sidang PBB Tahun 1988 di Vienna, menyepakati bahwa penyalah guna diberikan sanksi alternatif selain pidana penjara. Sanksi alternatif tersebut dapat berupa perawatan, edukasi, rehabilitasi, dan re integrasi sosial.

Adapun dalam sidang PBB tahun 1998 UNGASS, di Vienna, sebagai evaluasi terhadap konvensi Vienna tahun 1988, yang menghasilkan deklarasi politik tentang penanggulangan bencana narkotika dengan pendekatan seimbang antara pendekatan hukum dan pendekatan kesehatan.

Seluruh konvensi Internasional tersebut telah diratifikasi melalui UU Narkotika No. 9 tahun 1976, kemudian disempurnakan menjadi UU No. 22 Tahun 1997 selanjutnya diubah menjadi UU No. 35 Tahun 2009 yang saat ini berlaku, dimana memposisikan penyalah guna sebagai korban yang perlu mendapatkan perawatan.

Dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, salah satu tujuannya yang tercantum dalam pasal (4) adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika. Namun fakta di lapangan, para penyalah guna dan pecandu narkotika dijatuhi hukuman penjara dan mendekam di Lembaga Permasyarkatan.

Berdasarakan penelitian tentang dekriminalisasi penyalah guna narkotika yang dilakukan tiga orang peneliti di Portugal ; Fatima Trigueros, Paula Victoria Dan Lucia Diaz, menyimpulkan korban penyalahgunaan narkoba “lebih baik diterapi dari pada dihukum”. Kemudian Glenn Greenwald, warga negara Amerika yang melakukan penelitian tentang dekriminalisasi di Portugal, tahun 2009 menyimpulkan, bahwa mereka yang terjerat kasus memiliki dan menggunakan narkotika tidak dikaitkan dengan peradilan kriminal, sejak dilakukan dekriminalisasi angka penyalah guna mengalami penurunan, dengan dekriminalisasi pemerintah mendorong para pecandu/penyalah guna untuk memberdayakan dirinya melalui perawatan atau rehabilitasi.

Justin B. Shapiro, yang juga melakukan penelitian tahun 2010 di Meksiko, berkesimpulan, “menuntut para penyalah guna dan pecandu narkotika akan menghambur – hamburkan sumber daya penegakan hukum, serta mendorong timbulnya korupsi bagi penegak hukum”.

Pelaksanaan dekriminalisasi penyalah guna narkotika telah dilakukan oleh beberapa negara dengan berbagai variasi dekriminalisasi :

Di Belanda, kepemilikan semua jenis narkotika adalah pelanggaran, tetapi kepemilikan dengan jumlah kecil untuk kepentingan pribadi hanya merupakan pelanggaran ringan. Penyalah gunaan narkotika untuk pribadi, ditolelir penggunaannya oleh penegak hukum. Dekriminalisasi model Belanda ini berdampak pada menurunnya pengguna narkotika pemula, dan menurunnya penggunaan hard drug.

Di Portugal, dekriminalisasi penyalah guna narkotika diatur dalam UU Narkotika Portugal pasal 2 (1), pembelian, kepemilikan dan penggunaan narkotika untuk kepentingan pribadi selama 10 hari merupakan pelanggaran administrasi, apabila kepemilikannya melebihi batas pemakaian selama 10 hari maka secara hukum pemilik narkotika adalah pengedar. Namun begitu penyalahgunaan narkotika tetap dilarang. Dampak dari dekriminalisasi di Portugal adalah penurunan angka penggunaan narkotika usia produktif, penurunan ketertarikan penggunaan narkotika, peredaran narkotika menurun serta pengidap HIV, hepatitis, kematian yang diakibatkan oleh penggunaan narkotika menurun drastis.

Sedangkan di negara bagian New South Wales bentuk dekriminalisasi merupakan program Polisi. Melalui diversi dimana Polisi dapat menawarkan kepada yang ditangkap atas pelanggaran narkotika untuk menjalani program rehabilitasi. Bagi mereka yang diketahui memiliki atau menggunakan narkotika untuk kepentingan pribadi dapat menjalani diversi narkotika. Dampaknya penurunan tingkat penggunaan cannabis dan biaya penegakan hukum menurun.

Saat ini sekitar 23.779 warga binaan pemasyarakatan merupakan penyalah guna narkotika yang menjalani hukuman pidana di lapas. Hal ini terjadi akibat penyalah guna narkotika diputus hukuman pidana, seharusnya hukuman rehabilitasi yang pantas bagi penyalah guna narkotika. Hal tersebut terjadi karena konstruksi tuntutan Penuntut Umum, menuntut penyalah guna dipidana.

Fakta yang muncul di Persidangan sering terjadi perbedaan tuntutan Penuntut Umum dengan keterangan terdakwa, dimana Penuntut Umum menuntut bahwa unsur membawa, menguasai dan memiliki narkotika dengan jumlah yang sangat terbatas, (dibawah ketentuan Surat Edaran MA No. 4/2010, yaitu kondisi tertangkap tangan dengan barang bukti dibawah 1 gram untuk sabu, 8 butir untuk ekstasi dan 5 gram untuk ganja, yang merupakan kebutuhan satu hari) dengan ancaman pidana pasal pengedar. Sedangkan keterangan terdakwa menyatakan bahwa yang bersangkutan hanya menggunakan. Alasan penuntut umum karena mempedomani berkas perkara yang sudah terkonstruksi pasal membawa, menguasai, memiliki yang diperuntukan bagi pengedar.

Hal ini terjadi karena penegak hukum menginterpretasikan bahwa memiliki, menguasai, membawa narkotika dibawah ketentuan surat edaran MA, dapat dikonstruksi dalam pasal sebagai pengedar, sehingga sangat jarang pasal penyalah guna berdiri sendiri. Disisi lain penegak hukum yang menangani kasus penyalah guna narkotika jarang melakukan langkah – langkah pemeriksaan secara medis dan psikis untuk menentukan seorang yang ditangkap sebagai penyalah guna atau pengedar, serta tidak pernah melakukan pemeriksaan terhadap tingkatan kecanduan dan rencana terapi rehabilitasinya, sehingga Hakim merasa sulit dalam memutuskan tindakan berupa rehabilitasi.

Faktor kontekstual lainnya yang mempengaruhi belum berjalannya dekriminlaisasi, disebabkan para penegak hukum yang khusus menangani permasalahan penyalah guna narkotika kurang dapat memahami “roh” UU No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, dimana dalam pasal 4 menyebutkan : menjamin pengaturan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika.
Jaminan rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika inilah roh-nya, dimana yang bisa menghidupkan roh UU tersebut adalah penegak hukum sendiri.

Karena Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB hasil sidang tahun 1998, dimana para penyalah guna diberikan alternatif berupa rehabilitasi, maka Undang – Undang Narkotika kita mengatur doble track system pemidanaan, yaitu Hakim dapat memutuskan hukuman pidana penjara dan dapat memutuskan tindakan rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika. Itulah sebabnya Hakim mempunyai peran yang sangat penting yang diberikan UU untuk melakukan dekriminalisasi.

Kerangka hukum dekriminalisasi dalam hukum positif di Indonesia termaktub secara limitatif dalam UU namun belum dapat dioperasionalkan, karena belum ada mekanisme hukum yang membedakan secara operasional klasifikasi pecandu narkotika. Implementasi dekriminalisasi penyalah guna narkotika di Indonesia masih terkendala oleh adanya perbedaan penafsiran hukum, tentang unsur “tanpa hak atau melawan hukum”, budaya hukum, pemahaman tentang tujuan UU Narkotika No. 35 tahun 2009 terhadap penyalah guna narkotika, sehingga penyalah guna dikonstruksi dengan pasal diluar pasal pengguna (pasal 127) yang berorientasi pada bukan tindakan rehabilitasi.

Dalam rangka mengfungsionalisasikan pelaksanaan dekriminalisasi penyalah guna narkotika di Indonesia, demi mewujudkan Indonesia Negeri Bebas Narkoba, disarankan dibentuk mekanisme hukum berupa tim kecil yang berada di tiap – tiap kabupaten/kota, dan provinsi serta tingkat pusat yang beranggotakan Kementrian Hukum dan HAM, Kementrian Kesehatan, Kementrian Sosial dan Koordinator Drug Control Policy, dengan tugas dan kewenangan menentukan peran tersangka yang tertangkap tangan atas permintaan penyidik Polri dan BNN, menentukan kriteria pecandu sesuai dengan jenis kandungan yang dikonsumsi, kondisi ketika ditangkap dan tempat mengkonsumsi serta kondisi situasi ekonomi, menentukan rencana terapi dan jangka waktu penyalah guna di rehabilitasi, yang dapat digunakan sebagai keterangan ahli dalam berkas perkara.*

Penulis adalah Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

You may use these HTML tags and attributes: