INILAH.COM, Jakarta – Penyalahgunaan narkoba di Indonesia hingga kini masih marak, mulai dari figur publik, artis, pejabat, hingga masyarakat umum. Bahkan tak sedikit dari penyalahguna merupakan anak dibawah umur.
Meski aparat penegak hukum telah melakukan pemberantasan narkoba, namun penyalahguna narkoba seakan tak pernah habis. Bahkan saat ini diketahui telah masuk narkoba jenis baru.
Yang jadi pertanyaan adalah, apakah penegak hukum telah melakukan pemberian sanksi kepada penyalahguna narkoba sesuai dengan hukum yang berlaku atau tidak? Dan apakah sanksi yang diberikan kepada tersangka narkoba sudah adil atau belum?
Hal ini dapat terlihat dari sanksi hukum yang diberikan kepada artis Raffi Ahmad yang pernah tersandung masalah narkoba. Raffi terbukti positif mengonsumsi narkoba jenis baru dan kedapatan menyimpan narkoba jenis ganja di rumahnya.
Meski ia mengaku ganja tersebut bukan miliknya, namun semestinya ia mendapatkan hukuman penjara selama satu tahun. Sebab presenter acara musik di televisi swasta itu dianggap mengetahui adanya penyalahguna narkoba di rumahnya.
Kenyataannya, mantan kekasih dari Yuni Shara itu hanya menjalani rehabilitasi untuk mengobati ketergantungannya terhadap narkoba tanpa harus merasakan hukuman penjara.
Kasus yang sama juga terjadi pada pesepakbola, Isnan Ali yang tertangkap saat mengonsumsi sabu di tempat hiburan malam. Namun aparat yang melakukan penggerebekan itu malah memulangkan mantan Tim Nasional Sepak Bola tersebut untuk selanjutnya dipanggil kembali untuk diperiksa atas keterlibatannya.
Setelah pemeriksaan, penegak hukum hanya memberikan wajib lapor kepada Isnan Ali untuk selanjutnya dilakukan assesment untuk proses rehabilitasi.
Kondisi ini jauh berbeda dengan kasus yang dialami oleh masyarakat umum yang juga terlibat dalam penyalahguna narkoba. Salahsatu contoh kasus ini dialami oleh pria warga Rawamangun berinisial AS (33).
AS tertangkap aparat sesaat setelah membeli dua linting ganja di kawasan Pasar Minggu. Tanpa mendapatkan upaya untuk rehabilitasi, AS langsung dijebloskan ke penjara selama empat tahun. Bahkan saat berada di dalam penjara pun ia harus mengeluarkan uang Rp5 juta untuk mendapatkan tempat di ruang tahanan.
Ia menceritakan uang Rp5 juta itu diminta oleh tahanan lainnya agar mendapatkan tempat untuk tidur di selnya. Dan hal itu pun diketahui oleh pihak rumah tahanan.
“Kalau nggak ngasih uang, bisa dihajar terus-terusan di dalam sel. Mau nggak mau harus telepon orangtua minta uang,” ujarnya.
Kasus yang sama juga dialami oleh masyarakat umum lainnya berinisial Az (15) warga Pasar Minggu yang ditangkap atas kasus kepemilikan satu linting ganja usai membeli dari salah seorang bandar.
Bocah yang masih pelajar tingkat SMP itu dijebloskan ke penjara anak-anak karena orangtuanya tidak mampu membebaskannya dari hukuman. Akibatnya Az harus menjalani hukuman penjara selama kurang lebih tiga tahun.
Dari sejumlah kasus penyalahguna narkoba tersebut sangat terlihat perbedaan antara figur publik dengan masyarakat umum. Kasus yang satu mendapatkan upaya untuk rehabilitasi, sedangkan yang lainnya sama sekali tidak mendapatkan penawaran untuk rehabilitasi.
Padahal mereka semua adalah sama-sama penyalahguna narkoba, yang semestinya mendapatkan rehabilitasi, bukan dipenjara. Karena penjara adalah tempat yang diperuntukan bagi pengedar narkoba.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Anang Iskandar yang mengatakan, “Penyalahguna narkoba itu harus direhab, bukan dipenjara. Berbeda dengan pengedar, dia yang harus dipenjara,” ungkapnya.
Jadi, sudah adilkah hukuman bagi tersangka narkoba saat ini?