Pergi dari kampung karena perang, tapi berakhir di tiang gantungan karena narkoba.
MAKMUR tak pernah lupa tanggal keberangkatannya ke negeri jiran, Malaysia, 23 tahun silam. Hari itu, Sabtu, 14 Maret 1992, dengan tas jinjing merek salah satu sponsor sepakbola, dirinya berangkat ke Medan melalui jalan darat. Tak ada pesta pelepasan seperti layaknya sebuah keberangkatan. Berita kepergiannya pun tak banyak diketahui warga kampung. Kondisi keamanan di Aceh yang tak kondusif, membuat dirinya lebih memilih pergi secara sembunyi – sembunyi.
Makmur ingat, hanya dua orang tuanya dan seorang adik perempuan yang mengantarnya ke sebuah balai di persawahan Glumpang Minyeuk, yang berada persih di seberang jalan raya Medan-Banda Aceh. Malam itu, dengan menumpang pick-up berusia 70-an milik seorang toke udang di kampung, Makmur dan keluarganya tiba dengan selamat di tempat itu menunggu bus yang akan membawanya ke Medan. Kebetulan, di balai itu sudah ada beberapa orang yang juga akan berangkat ke Medan.
“Sudah ada bus yang lewat?” Makmur mencoba ramah.
“Ada. Sudah dua bus lewat. Dua-duanya penuh,” kata salah seorang pemuda yang sudah lama menunggu bus di balai itu.
Sekali pun tak ada penerangan di balai itu, orang-orang sudah terbiasa menunggu bus malam di sana. Selain karena nyaman, di dekat balai itu ada kios dan warung kopi. Cahaya lampu dari kios itulah yang menjadi satu-satunya tanda bagi sang sopir bus malam. Mereka pasti tak pernah lupa berhenti di balai itu, karena mereka hafal betul, tiap malam selalu saja ada orang yang berangkat ke Medan.
Bagi Makmur, merantau ke Malaysia merupakan keputusan berat yang harus diambilnya. Dia tak hanya akan berpisah dengan keluarga, melainkan meninggalkan tambak dan kebun yang sudah siap panen. Tapi, memilih tetap berada di kampung tak menjamin keselamatan jiwanya. Cukup banyak pemuda kampung yang hilang di malam hari, kadang-kadang karena urusan sepela: tidak mau menjual burung ke tentara, tidak mengantar hasil panen udang ke pos tentara atau berselisih dengan pemuda lain yang kebetulan dekat dengan tentara. Sebuah alasan untuk mati yang tidak masuk akal.
Sekitar 30 menit berlalu, sebuah bus Kurnia berhenti. Seorang kernet berbadan tegap dengan rambut gondrong turun. Beberapa calon penumpang yang dari tadi menunggu di balai itu bergegas masuk ke dalam bus. Sementara kernet tadi membawa tas calon penumpang dan menumpuknya di bagasi.
Makmur menyalami kedua orang tua dan memeluk adik kecilnya. Air matanya tak terbendung, begitu juga mata orang tua dan adiknya juga tampak sembab. Ada keharuan di sana. Bukan apa-apa, sejak malam ini mereka tak pernah lagi melihat Makmur. Berat rasanya meninggalkan kampung halaman dan orang-orang yang dicintainya. Makmur tak punya pilihan. Keputusan berangkat ke Malaysia sudah bulat. Seorang temannya yang duluan ke Malaysia menjanjikan akan mencarikan kerja untuknya.
Makmur memilih membawa serta tas yang dijinjingnya ke dalam. Dia lebih senang tasnya ditaruk di bawah tempat duduk atau di bagasi di atas tempat duduknya. Setelah semua penumpang masuk ke dalam, kernet pun menutup terakhir. Bus itu pun menembus gelapnya malam. Dari jauh, Makmur masih sempat melihat kedua orang tua dan adiknya melambaikan tangan, hingga bayangan mereka menghilang di balik pekatnya malam. Itulah terakhir kalinya Makmur melihat mereka.
SELAMA lebih kurang 8 jam perjalanan dari Glumpang Minyeuk ke Medan, Makmur lebih memilih tidur, dan terbangung ketika ingar-bingar orang di pemberhentian bus membangunkan tidurnya. Dia melirik jam di tangannya. Pukul 06.30 WIB. Makmur memilih sarapan di warung di dalam komplek pemberhentian itu. Sewaktu dalam perjalanan, Makmur tidak makan apapun, kecuali minum air putih dan mengisap rokok 234 kesukaannya.
Selesai makan, Makmur menumpang becak. Dia akan ke tempatnya temannya di Jalan Halat. Kebetulan dia sudah menyimpan alamat toko tempat temannya berjualan itu sebelum berangkat ke Medan. Menurut rencananya, setelah mampir sebentar ke tempat temannya, dia akan minta diantar ke pelabuhan, agar bisa berangkat ke Tanjung Balai. Temannya pun sudah sering mengurus keberangkatan pemuda kampung lainnya yang hendak ke Malaysia, melalui jalur laut.
“Kita sudah di Jalan Halat.” Kata-kata abang becak itu, membuat lamunannya berhenti. Makmur buru-buru membaca nama jalan yang tercetak di papan nama toko yang dilewatinya.
“Nomor tokonya, 75 pak!” Nomor yang dilihatnya masih angka 9. Becak pun terus melaju.
Makmur terus melihat kiri-kanan, jaga-jaga jika nomor toko tempat temannya bekerja sudah dekat. Ada senyum di wajahnya setelah angka yang dilihatnya makin dekat dengan nomor toko temannya.
“Di sini saja, pak. Kita sudah sampai.” Becak berhenti di sebuah toko kelontong. Nomor di papan nama toko jelas tercetak angka 75. Makmur turun dari becak setelah membayar ongkos. Awalnya, dia seperti orang bingung. Maklum, temannya, Bukhari, tidak tahu kalau dirinya datang ke Medan.
Setelah menguasai diri dan menghisap rokok 234 miliknya yang masih tersisa setengah bungkus itu, Makmur bergegas masuk ke dalam toko kelontong. Seperti kebiasaan di kampung, Makmur memberi salam. Beruntung, karena Bukhari sendiri yang menjawab salam. Dia terkejut bukan main setelah tahu temannya dari kampung yang masuk ke tokonya.
“Hai, pajan ka troh u Medan (Hai, kapan tiba di Medan)?” Bukhari menyalami dan lalu merangkulnya. Dia meminta Makmur duduk di kursi plastik dalam toko.
“Nyoe bantroh mantong. Beuklam berangkat dari Aceh (Baru saja tiba. Semalam berangkat dari Aceh).”
“Pue acara? Kiban di gampong (Ada acara apa? Bagaimana kabar di kampung)?”
“Di gampong lagee biasa. Hana ta tuoh peugah le. Rencana neuk jak blahdeh (kabar di kampung biasa-biasa aja. Tidak tahu harus bilang apa. Rencana mau ke Malaysia).”
Mereka pun saling bercerita kondisi masing-masing. Makmur dan Bukhari adalah teman lama. Sejak kecil mereka satu sekolah. Mereka pun mengaji di teungku yang sama di kampung. Hanya saja, setamat SMP Bukhari merantau ke Medan mengikuti jejak abangnya. Kini, dia sudah mampu menyewa toko sendiri dan berjualan kelontong. Sementara Makmur memilih berada di kampung sambil mengurus usaha tambak miliknya orang tuanya.
“Pue na perkembangan baro di kampung, man? Hana mungken droe tanpa alasan jak u Malaysia (Sebenarnya ada perkembangan apa di kampung? Tidak mungkin kamu pergi tanpa alasan ke Malaysia).” Bukhari masih tetap bertanya kondisi di kampung. Maklum, sudah lebih 4 tahun dia tak pulang kampung. Orang tuanya juga berpesan, kalau tidak ada hal mendesak agar tidak perlu pulang. Kondisi keamanan di Aceh tidak menentu.
“Hana aman le di gampong. Trep-trep di gampong jadeh keumah teuh (Tidak lagi aman di kampung. Lama-lama mati juga).” Mata Makmur menerawang cukup jauh. Dia ingat, sejak kejadian di tambak tempo hari, membentak anggota ABRI (nama lama TNI) yang meminta hasilnya panen udang dan bandeng miliknya. Yang membuatnya kesal, anggota ABRI itu meminta cukup banyak, sementara hasil panen di tambak Makmur tidak seberapa. Makmur pun memilih memanen cepat hasil tambaknya karena banyak udang mati kemerahan. Jika tak dipanen segera, Makmur jelas akan rugi besar: tak sempat mengambil hasilnya.
Setelah kejadian tersebut, Makmur sempat dipanggil ke pos ABRI yang berada di pasar Kemukiman. Dia dipukul dan dibentak-bentak di pos tersebut. Mereka tak mau mendengar cerita Makmur, kalau panennya kali ini tidak seberapa. Dia malah masih rugi. Untung saja, nasibnya terselamatkan karena bantuan Keuchik kampungnya. Seperti biasa, tiap ada warga yang disuruh menghadap ke pos ABRI, Keuchik selalu dipanggil juga. Keuchiklah biasanya jadi jaminan untuk pelepasan warga, jika kesalahan warga tak seberapa.
“Munyoe meunan, malam nyoe ka-eh di sinoe bak lon dile. Singoh lon intat droe u Tanjung Balai (Kalau begitu, malam ini kamu tidur di sini dulu. Besok saya antar ke Tanjung Balai).” Bukhari mencoba menenangkan temannya. Makmur sudah menghabilkan dua air Aqua gelas. Dia bilang perlu istirahat. Tak ada pilihan lain, karena Makmur tak punya teman lain di Medan. Dia pun diantar ke lantai dua toko tersebut.
Malam itu, dia akan menghabiskan waktu di Medan. Bukhari berjanji mengajaknya keliling kota Medan, menikmati suasana di Lapangan Merdeka dan menonton bioskop di kota.
BESOKNYA, pagi-pagi sekali, Makmur sudah bangun. Dia selalu terjaga untuk salat Subuh. Dia ingat, sebelum naik bus tadi malam, kedua orang tuanya menitipkan pesan. Ibunya berpesan, “ke mana pun pergi, jangan lupa salat lima waktu.” Sementara ayahnya, mengingatkan dia untuk selalu menjadi orang yang jujur. “Ingat Makmur. Jujur itu modal hidup.” Makmur tak akan lupa pada pesan kedua orang tuanya itu.
Bukhari sudah selesai mandi saat Makmur masih berdoa di atas sajadah. Beda dengan Makmur, Bukhari salat Subuh setelah mandi. Makmur pun buru-buru mandi. Mereka akan berangkat pagi ke Belawan pagi-pagi. Dari Belawan, mereka akan menumpang kapal ke Tanjung Balai. Bukhari akan mengantar Makmur sampai hingga ke Tanjung Balai. Dia yang mengurusi semua tetek-bengek keberangkatan Makmur. Bukhari memang sudah sering menjadi perantara pemuda Aceh untuk berangkat ke Malayia. Apalagi sekarang yang berangkat adalah teman satu sekolahnya dulu. Dia senang karena bisa bantu teman masa kecilnya itu.
Keduanya sudah siap berpakaian. Makmur membawa tas jinjing miliknya. Tas itu hanya ada berisi beberapa potong baju dan celana, plus peralatan mandi: sabun, sikat gigi dan odol. Sementara Bukhari tidak membawa apa-apa, karena hanya mengantar Makmur saja. Mereka menunggu taxi di depan toko. Menurut Bukhari, sekali pun mahal, taxi sangat nyaman untuk pergi ke Belawan. Awalnya, Bukhari mau membawa mobil bututnya, tapi karena perjalanan mereka hingga ke Tanjung Balai, tak aman jika mobil itu diparkir di areal pelabuhan. Lagi pula, setelah mengantar Makmur hingga ke Tanjung Balai, Bukhari tak langsung pulang. Dia akan menemui teman lamanya di sana.
Setiba di komplek pelabuhan Belawan, Bukhari dan Makmur memilih mencari warung kopi dulu. Sejak pagi mereka hanya minum air putih. Untung saja di warkop itu ada sarapan pagi. Mereka pun kompak memesan teh hangat dan lontong sayur. Padahal, mereka berharap bisa makan nasi gurih, tapi sudah keburu habis. Yang masih tersedia cuma lontong saja. Daripada tak makan apa-apa, lontong itu sudah cukup sebagai pengganjal perut. Dua jam lagi mereka akan berangkat ke Tanjung Balai.
“Watee di Malaysia unteuk, kajak laju u Cow Kit. Rame awak tanyoe di sideh (Nanti setiba di Malaysia, singgah ke Cow Kit. Banyak orang Aceh di situ).” Bukhari menyulut rokoknya. Asapnya mengepul bulat di atas mereka.
“Rencana kujak bak si Bustamam dile, di Seulangor. Na alamat dan nomor telepon ata dijok uroe raya barosa (Rencana mau ke tempat Bustamam dulu di Seulangor. Ada alamat dan nomor telepon yang dikasih pas lebaran kemarin).” Makmur memeriksa dompetnya. Dia menemukan selembar kertas. Tepat di bawah alamat toko Bukhari, ada nama dan alamat temannya di Seulangor, Malaysia. Ada nomor telepon rumah tempat tinggal Bustamam juga di kertas itu. Makmur tersenyum lega. Dia tahu, jika kertas itu sampai hilang, dia akan meraba-raba setiba di Malaysia nanti.
“Ka paih berarti. Si Bustamam sering dijak u Cow Kit cit. Sang na warong runcit (sejenis usaha kelontong, red) jih di sinan, tapi hom cit. Trep hana lon meuhaba le ngon jih (Cocok sekali. Bustamam pun sering di Cow Kit. Dia punya warung kelontong di sana. Tidak tidak tahu sekarang, sudah lama tak ada kabar lagi).”
“Dipeungah mantong dimeukat di Cow Cit. Watee diwoe u gampong uroe raya barosa dipeugah (Dia bilang masih jualan di Cow Kit, dia bilang begitu waktu pulang kampung lebaran kemarin).”
“Munyoe kajak bak jih berarti ka aman. Tempat kerja sementara kana dile. Tapi bek ka ikot buet jih…(Kalau begitu sudah cocok. Kamu kerja di tempat dia dulu sementara, tapi jangan ikut-ikutan sama dia)”
Bukhari mendadak menghentikan ucapannya. Dia tak mau Makmur berpikir macam-macam tentang temannya itu.
“Memang pue buet laen jih di sideh? Dipeugah bak lon cuma dimeukat sagai di warong runcit (Memang kerja apalagi dia di sana? Dia bilang cuma jualan).” Makmur tergolong lugu. Dia tak pernah menduga macam-macam temannya itu. Bukhari dan Bustamam adalah teman-teman dekatnya di masa kecil. Mereka selalu bersama-sama ke mana pun.
Setelah puas menikmati lontong, teh hangat dan lontong sayur, mereka pun bergegas ke tempat penjualan tiket. Bukhari cukup hafal daerah itu. Tak mungkin ditipu oleh calo. Dia memesan dua tiket kelas ekonomi. Mereka pun tak akan lama di laut. Lagi pula, di atas kapal laut itu pun mereka tetap akan mencari cafe atau menghabiskan waktu di dek kapal. Setelah menempuh beberapa jam perjalanan, mereka tiba di pelabuhan Tanjung Balai. Dari sanalah, Makmur akan berangkat ke Malaysia. Tapi mereka harus menunggu malam hari. Maklum, Makmur berangkat secara ilegal, seperti banyak pemuda Aceh lainnya. Yang perlu dihindarinya cuma satu: tidak tertangkap patroli Malaysia.
Setiba di Tanjung Balai, Bukhari mencari temannya. Sebab, lewat jaringan teman itulah dia akan memberangkatkan Makmur ke Malaysia. Bukhari dengan setia menunggu hingga bisa melihat Makmur berangkat. Dia tak mau membiarkan temannya sendirian. Selepas Isya, keduanya berpisah, entah untuk waktu berapa lama. Makmur berharap dapat bertemu kembali temannya itu, suatu saat nanti.
MAKMUR menangis terisak-isak mengenang kisah tersebut. Kenangan saat berpisah dengan orang tuanya di balai Glumpang Minyeuk maupun dengan Bukhari di Tanjung Balai itu terbayang kembali. Dia begitu terpukul mengenang kisah keberangkatannya ke Malaysia itu. Semua sia-sia sekarang. Sejak dua hari lalu dia harus mendekam di penjara polisi Malaysia.
Makmur ditangkap ketika polisi melakukan razia ke kawasan Cow Kit. Sudah lama polisi mengintai aktivitas Makmur, juga Bustamam. Keduanya menjadi bandar narkoba, jenis ganja. Jaringannya tak hanya ada di Batam dan Tanjung Balai, tapi hingga ke Jawa dan Bali. Mereka memasok hampir setengah kebutuhan narkoba untuk kawasan Bali dan Jawa. Anehnya, mereka nyaris tak tersentuh. Aktivitas mereka tergolong rapi, dan lebih banyak mempekerjakan orang Madura.
Awalnya Makmur bekerja di warung runcit milik Bustamam. Setelah merasa cukup punya pengalaman, dengan sedikit bantuan modal dari Bustamam, Makmur berhasil memiliki toko sendiri. Usahanya terbilang sukses. Sebagai orang yang baru tiba dari Aceh, Makmur terbilang cepat sukses. Hanya setahun dia bekerja di warung Bustamam, dia sudah bisa memiliki warung sendiri. Hal itu membuat orang begitu menghormatinya di Cow Kit. Malah, karena pengetahuan agamanya, dia menjadi orang yang dituakan di sana.
Tapi, orang tak pernah cukup puas dengan apa yang dimiliki. Makmur boleh dibilang hidup senang di Malaysia. Punya mobil, punya rumah dan tempat usaha yang tersebar di beberapa titik, di kawasan Cow Kit, Seulangor dan Kajang. Sebagian besar pekerjanya orang Aceh, dan sebagian kecil saja orang Jawa. Keinginan dan rasa percaya diri bahwa semua usaha yang dirintisnya sukses, dia pun terjebak dalam dunia gelap, yang selama ini digeluti Bustamam, teman masa kecilnya.
Makmur sama sekali lupa dengan pesan Bukhari, agar tidak ikut-ikutan pekerjaan sampingan Bustamam. Malah, dia kini melebihi Bustamam. Koneksinya cukup luas, dengan orang China, India dan Bangladesh. Di usaha narkoba ini pun dia cepat sekali sukses. Awalnya hanya bandar kecil biasa, perlahan tapi pasti, dia sanggup menjadi salah satu bandar besar, dan memiliki jaringan yang cukup banyak. Dia pun ikut main mata dengan beberapa polisi agar usahanya tak diganggu.
Seperti kata pepatah, setinggi-tinggi tupai melompat, sekali-kali jatuh juga. Pepatah itulah yang terjadi pada Makmur. Setelah bertahun-tahun tak tersentuh polisi Malaysia, penangkapan seorang bandar di negara bagian Trengganu menyeret namanya. Hasil pengembangan kasus, polisi pun menggebrek kawasan Cow Kit, yang terkenal sebagai kampungnya orang Aceh. Dalam razia itulah Makmur ketiban sial. Di toko miliknya banyak ditemukan paket narkoba yang belum sempat dikirim ke pelanggannya, termasuk untuk diselundup ke Jawa dan Bali. Bukti-bukti tersebut membuatnya tak bisa mengelak. Hari itu juga Makmur dibawa ke markas polisi, dan tak pernah lagi menghirup udara bebas. Petualangannya kini berakhir di balik jeruji besi.
Upaya pelepasan Makmur bukan tidak ada. Beberapa tokoh Aceh sudah melakukan upaya negosiasi untuk membebaskan Makmur. Tapi, bukti dan pengakuan dari bandar narkoba lain, membuat upaya melepaskan dirinya sia-sia. Kasus Makmur akan dibawa hingga ke pengadilan, dan besar kemungkinan Makmur akan dihukum gantung. Hanya keajaiban yang akan membebaskan dirinya dari mati di tiang gantungan. Setelah beberapa kali proses persidangan, Makmur divonis mati, seperti yang ditakutkan teman-teman Acehnya. Tak ada yang bisa dilakukan lagi.
DI HARI menjelang eksekusi mati, beberapa teman-teman Aceh menjenguknya. Ada Abdullah, Mahfud dan Zainuddin, termasuk Hamdani yang baru tiba dari Aceh. Meski baru tiba di Malaysia, Hamdani sengaja diajak ke penjara karena ingin menyampaikan pesan dari Bukhari, teman yang pernah mengantarnya hingga ke Tanjung Balai.
Sekali pun dalam beberapa saat ke depan, akan menghadapi tiang gantungan, Makmur mencoba tegar saat menjumpai teman-teman Aceh yang menjenguknya. Seperti lama tak jumpa, dia salami satu persatu sambil menatap wajah mereka. Tiba di giliran Hamdani, wajahnya seperti mencoba mengingat-ingat. Selama di Cow Kit dia tak pernah melihat Hamdani.
“Namanya Hamdani. Dia baru tiba dari Aceh.” Abdullah memberi tahu Makmur tentang Hamdani. “Katanya, Bukhari ada titip pesan. Makanya dia kami ajak kemari.” Lalu, Makmur mencoba tersenyum, sekali pun seperti dipaksa.
Setelah minta izin bicara dari Abdullah, Hamdani pun menyampaikan pesan dari Bukhari. Dengan menarik nafas panjang, Hamdani seperti cukup berhati-hati bicara. Maklum dia belum pernah bertemu sebelumnya. Dia pun menyampaikan pesan dari Bukhari, tanpa dikurangi sedikit pun.
“Orang tua bang Makmur sakit parah. Sekarang dirawat di Rumah Sakit.” Hamdani berhenti, karena wajah Makmur tiba-tiba menunduk. Ada butiran bening keluar dari kelopak matanya. “Setelah keberangkatan bang Makmur ke Medan, ayah dipanggil ke pos ABRI di kecamatan. Pulang dari sana, dari mulutnya keluar darah. Pak Keuchik membawanya ke rumah sakit.” Semakin banyak butiran yang keluar dari kelopak mata Makmur. Dia tak sanggup membayangkan nasib ayahnya, apalagi di saat dia bersiap-siap ke tiang gantungan.
Sekali pun sudah empat tahun tidak pulang ke kampung, Makmur cukup sering mengirim uang untuk orang tuanya, termasuk modal untuk tambak dan kebun. Malah, uang kiriman dari Makmur digunakan untuk membeli tanah dan lahan tambak.
Kini, jangankan untuk menolong orang tuanya di rumah sakit, dirinya sendiri tak tertolong. Dari menit ke menit, dirinya semakin dekat dengan tiang gantungan. Dia menunggu saat-saat untuk mati. Narkoba memupus segala apa yang sudah diraihnya. []
Taufik Mubarak