Kisah

Pecandu Narkoba Insaf Setelah Disumpah

“Mungken sumpah nyan keuh, jeut keu hikmah keu lon. Meunyo han, kadang cit han meuteumeueng tobat sampoe ‘an tuha. Gadoh lam donya nyang hana jeulaih. Beh buet meuganja pane na jeulaih. (Barangkali sumpah itu adalah hikmah terbesar untuk saya. Kalau tidak mungkin sampai setua ini saya tak ingat untuk taubat. Terlena dalam dunia yang tidak jelas. Kerja dalam dunia ganja memang sama sekali tidak jelas.”

Bang Mal ia biasa dipanggil. Bukan nama sebenarnya. Seorang pria paruh baya yang lahir, besar dan tinggal di sebuah pulau kecil Kecamatan Pulau Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Awal Mei lalu, kami mengunjunginya tempat tinggalnya yang keadaan alamnya terkenal eksotis. Pemandangan laut, pantai berpasir putih, terumbu karang, dan bebukitan nan hijau membuat pulau tempat ia tinggal ini tak kalah indah dengan panorama yang ada di Sabang.

Di pulau ini, Bang Mal hanya hidup bersama dengan istrinya sejak tsunami meluluhlantakkan hampir seisi pulau. Bencana tersebut membuat orang-orang yang tinggal di pulau tersebut mau tidak mau harus mengungsi ke Pulau Breuh, yang jaraknya sekitar 30 menit dengan mengendarai boat. Beberapa tahun setelah tsunami semua warga yang selamat dari bencana maha dahsyat itu mengungsi ke sana. Tidak terkecuali Bang Mal.
Namun sekitar tahun 2010, Bang Mal berinisiatif kembali ke pulau tinggalnya dulu, walau pun sebagian besar warga lain sudah tidak mau lagi pulang ke sana. Mereka menolak kembali memang cukup beralasan. Fasilitas umum dan paling penting berupa pelabuhan telah porak poranda, di samping di Pulau Breuh, mereka telah dibangun pemukiman baru.

Inisiatif Bang Mal dijalaninya selama lima tahun dengan hidup bersama istrinya di sebuah pondok sederhana. Hidup berdua di pulau itu, membuat Bang Mal harus bolak-balik ke Pulau Breuh selama seminggu sekali, untuk membeli kebutuhan hidupnya di sana. Di pulau ini, ia hidup dengan bercocok tanam dan mencari gurita.

Sabtu, 2 Mei 2015 kami yang berkunjung ke tempatnya tinggal dengan menumpang boat nelayan dari Pulau Breuh di sambutnya dengan ramah. Siang itu, setiba kami di sana ia baru saja membersihkan gurita hasil tangkapannya dengan menyelam di pantai yang dipenuhi terumbu karang. Ia duduk di bawah sebatang pohon waru, sambil memilah-milah gurita yang layak dijual ke Pulau Breuh dengan gurita kecil yang bisa dijadikan lauk makan siangnya.

“Neu piyoh keuno (berteduhlah di sini),” katanya menyambut kedatangan kami. Sambutan hangatnya membuat kami langsung akrab. Menikmati pemandangan alam sambil bertukar cerita dengan Bang Mal yang ramah membuat kami yang baru datang ke sini seperti sedang berada di kampung sendiri. Dan setelah saling merasa akrab inilah, Bang Mal membuka cerita tentang kehidupan pribadinya di masa muda.

“Masa muda saya dulu sama sekali tidak jelas. Saya jahat orangnya. Bukan jahat dalam artian menipu atau membunuh orang. Tapi jahat karena menjadi salah satu penadah ganja terbesar di seluruh Pulau Aceh,” ujar Bang Mal mengenang masa mudanya.

Seperti dituturkan Bang Mal, Pulau Aceh pernah terkenal sebagai pulau penghasil ganja di Aceh. Terletak di sebelah Barat Laut dari Kota Banda Aceh, kawasan Pulau Aceh terdiri dari gugusan pulau-pulau kecil, dengan dua pulau utama yang di diami penduduk yaitu Pulau Breuh dan Pulau Nasi. Selebihnya adalah pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni, kecuali pulau tempat Bang Mal tinggal sekarang ini.

Layaknya Pulau Weh, Sabang, antara akhir tahun 1960 sampai dengan 1970-an kawasan pulau ini terkenal dengan daerah penghasil cengkeh. Namun ketika harga cengkeh terpuruk, kawasan ini juga ikut terpuruk. Ladang-ladang cengkeh milik warga menjadi terbengkalai. Waktu itu masyarakat kembali memilih turun ke laut menjadi nelayan sebagai mata pencaharian utamanya.

Namun keterpurukan cengkeh seperti mendapat penggantinya ketika seorang pendatang yang dikenal dengan panggilan Yah Nek memasukkan bibit tanaman yang bagi masyarakat setempat sangat asing kala itu. Itulah bibit tanaman yang kemudian membuat Pulau Aceh dikenal sebagai daerah penghasil ganja. Tak lain, bibit tanaman yang dibawa masuk Yah Nek tersebut adalah ganja itu sendiri.

Setelah dibawa masuk oleh Yah Nek, dan kemudian diketahui oleh masyarakat setempat mempunyai harga pasar tinggi, membuat ganja tersebar dengan sendirinya di seluruh Pulau Aceh. Lahan cengkeh yang telah terbengkalai kembali dibersihkan penduduk. Mereka ramai-ramai menanam ganja sebab harganya yang tak kalah tinggi dengan harga cengkeh sebelumnya.

“Dulu wilayah Pulau Aceh masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Pekan Bada yang pusatnya terletak di Aceh daratan. Masa itu Polsek, Koramil, dan Kantor Camat sama sekali tidak ada di sini,” kata Bang Mal.
Karena daerah yang terpinggirkan dari sebagian besar daratan Aceh itulah, menurut Bang Mal, masyarakat setempat sama sekali tidak mengetahui tanaman baru unggulan mereka tersebut adalah jenis tanaman ‘haram’ menurut hukum. Tidak adanya sosialiasi tentang pelarangan ganja, membuat masyarakat tidak menyadari mata pencaharian mereka yang baru itu melanggar hukum.

Bersoal Yah Nek ‘sang pembaharu’ tanaman di Pulau Aceh, menurut Bang Mal, ia pernah mendengar kabar Yah Nek ditangkap di Banda Aceh ketika memasok hasil ‘taninya’ ke daratan Aceh. “Tahun berapa tepatnya Yah Nek tertangkap, saya tidak tahu. Menurut kabar waktu itu memang benar ia ditangkap di Banda Aceh. Sejak itu pula kami di sini tidak pernah lagi mendengar kabar tentangnya,” jelas Bang Mal.

Tertangkapnya Yah Nek, sedikit membuka pengetahuan bagi masyarakat waktu itu terbuka. Bahwa tanaman ganja yang telah beramai-ramai ditanami di lahan-lahan mereka ternyata melanggar hukum. Tetapi harganya yang mampu menutupi kebutuhan mereka sehari-hari atau bahkan lebih, membuat warga enggan untuk membasminya. Harganya yang cukup tinggi membuat mereka tidak mau beralih dari tanaman ini.

Dari kejadian tersebut, masyarakat Pulau Aceh, menurut Bang Mal membuat suatu peraturan yang telah disepakati bersama. Berupa peraturan yang juga harus ditaati bersama. Yaitu dilarangnya para petani untuk memasok ganja ke daratan Aceh, kecuali orang daratan Aceh sendiri yang melakukan transaksi di Pulau Aceh. Peraturan tersebut memungkinkan tumbuhnya ‘kartel’ yang dikelola oleh seorang yang berpengaruh di Pulau Aceh.

Tumbuhnya ‘kartel’ inilah, menurut Bang Mal, membuat ia terlibat dalam sebuah sindikat penadah ganja di seluruh Pulau Aceh. Para petani menjual ganja kepada penadah, di mana Bang Mal menjadi salah satu pengutip dalam sindikat tersebut.

“Di sini, waktu itu hanya ada tujuh orang pengutip yang dipercayai. Saya salah satunya,” kata Bang Mal.
Apa yang diceritakan Bang Mal tersebut terjadi terus berlangsung antara akhir tahun 1970-an sampai sekitar tahun 2000-an. Di mana pada masa itu ganja telah benar-benar mengganti tanaman cengkeh dalam keseharian masyarakat. Pada masa itu pula hampir seluruh masyarakat Pulau Aceh berprofesi ganda; yaitu nelayan dan juga petani ganja.

Dengan adanya kartel yang salah satu anggotanya adalah Bang Mal sendiri, membuat masyarakat lebih terlindung dari penangkapan di daratan Aceh. Sejak saat itu mereka tidak pernah menjual sendiri hasil tanaman mereka, baik dalam kecil apalagi dalam jumlah besar. Semua proses transaksi untuk pasokan ke daratan Aceh dikendalikan oleh kelompok Bang Mal. Setiap sepuluh kilogram ganja yang dikeluarkan dari Pulau Aceh, satu kilogram dikutip untuk kebutuhan ‘kartel’.

“Waktu itu saya hanya bertugas mengutip. Jadi saya tidak tahu sama sekali kemana ganja itu dibawa, di daratan Aceh,” kenang Bang Mal.

Namun kejayaan ganja di Pulau Aceh kemudian berakhir dalam sekejap. Itu tidak lain ketika pemerintah mulai mengendus pasokan ganja di daratan Aceh sebagian besarnya berasal dari Pulau Aceh. Hal ini pula yang membuat Kapolda Aceh pada masa itu membuat sebuah kebijakan yang hingga hari ini dikenang dan benar-benar melekat dalam keseharian Bang Mal, juga masyarakat Pulau Aceh secara keseluruhan.

“Yusuf Manggabarani Kapolda yang menjabat saat itu. Dialah yang membasmi habis ganja di sini,” kata Bang Mal.

Tapi sepenuturan Bang Mal, kebijakan pembasmian ganja di Pulau Aceh saat itu bisa dikatakan tergolong unik. Manggabarani, begitu masyarakat Pulau Aceh menyebut nama Kapolda saat itu, tidak menangkap satu pun masyarakat yang menjadi petani ganja. Menurut Bang Mal, barangkali itu juga mustahil dilakukan. Sebab jika dilakukan penangkapan, maka boleh jadi seluruh warga Pulau Aceh harus ditangkap.

“Meunyo di drop, jeut ta kheun euntak ino hat, mungken hana le meu sidroe ureueng gampong di sinoe. Mandum ka lam glap. (Boleh dikatakan, kalau dilakukan penangkapan pada waktu itu, mungkin Pulau Aceh sudah tidak ada penghuni lagi saat itu. Semua kena penjara),” kenang Bang Mal sambil terkekeh.

Manggabarani memang tidak menangkap satu pun warga pada pemberantasan ganja besar-besaran yang ditaksir Bang Mal terjadi sekitar tahun 2003 itu. Namun pemberantasan tersebut dilakukan dengan membersihkan seluruh ladang yang ditanami ganja, juga membersihkan seluruh rumah warga yang menyimpan ganja. Semua ‘barang haram’ tersebut dikumpulkan pada satu tempat, dan kemudian di bakar semuanya.

“Pembakaran ganja waktu itu saya masih bisa membayangkannya. Berton-ton ganja ditumpuk di sebuah lapangan dan kemudian di bakar. Asapnya membumbung tinggi, dan mungkin kalau ada burung yang terbang di atasnya maka bisa dikatakan burung itu mabuk dengan sendirinya,” kelakar Bang Mal.

Pemberantasan secara besar-besaran oleh Manggabarani tidak berakhir dengan pembakaran ganjanya saja. Selain itu, Manggabarani telah menyiapkan satu kebijakan monumental lain, yang hingga hari ini masih dikenang oleh masyarakat setempat.

Orang-orang yang diketahui termasuk dalam sindikat ‘kartel’ ganja oleh Manggabarani diajak bertemu dalam sebuah acara yang juga dihadiri oleh para tokoh pemerintah Aceh dari daratan. Pertemuan ini, dengan arahan Manggabarani pula disaksikan oleh seluruh masyarakat Pulau Aceh. Pada hari yang telah ditentukan, pertemuan tersebut dilaksanakan di sebuah masjid. Masyarakat berkumpul.

Pada pertemuan inilah para anggota kartel yang beranggotakan delapan orang tersebut, di mana salah satu di antaranya adalah Bang Mal sendiri dipertemukan dengan tiga belas orang ulama besar Aceh. Ketiga belas ulama tersebut ternyata sengaja didatangkan oleh Manggabarani untuk menjadi saksi proses sumpah bagi mereka yang terlibat dalam sindikat kartel ganja.

Menurut Bang Mal, proses sumpah tersebut sebenarnya berlaku pula bagi seluruh warga Pulau Aceh, tetapi dilakukan secara simbolik, dan bisa dikatakan memang dikhususkan untuk delapan orang mereka saja. Adapun isi sumpah tersebut yaitu ikrar agar mereka juga seluruh masyarakat Pulau Aceh tidak lagi berhubungan dengan ganja. Baik menanaminya apalagi menjualnya.

Disumpah oleh tiga belas ulama besar Aceh bagi Bang Mal berikut teman-temannya yang terlibat adalah pengalaman spiritual yang sangat membekas di sanubari mereka. Tidak hanya kepada delapan orang mereka saja, tapi juga cukup membuat masyarakat saat itu ‘insaf’ dari keterikatan mereka terhadap ganja. Pasalnya, setelah prosesi sumpah tersebut Pulau Aceh dipastikan bersih dari ganja.

Dengan kebijakan yang dilakukan Kapolda Yusuf Manggabarani yang disokong penuh oleh seluruh elemen penting masyarakat Aceh daratan, peredaran ganja dari Pulau Aceh, menurut Bang Mal, mendadak tamat. Jika pun sekarang ada beberapa kasus ditemukannya ganja di Pulau Aceh, bagi Bang Mal itu hanyalah ulah orang iseng atau memang dilakukan oleh orang-orang pendatang baru yang memilih tinggal di Pulau Aceh setelah tsunami. Karena bagi masyarakat yang tinggal sejak diperlakukan sumpah tersebut sudah tidak menghiraukan lagi dengan yang namanya ganja. Sekali pun hasilnya tetap menggiurkan hingga sekarang ini.

“Bersumpah di hadapan ulama, tokoh masyarakat, polisi dan seluruh warga untuk tidak menanam dan menjual ganja lagi, saya kira itu bukan perkara main-main. Karena sebejat apa pun kita orang Aceh, sumpah dengan menyebut nama Allah, lillahi, wallahi, bukanlah perkara yang boleh diingkari,” ujar Bang Mal dengan mimik serius.

Usai menceritakan itu, Bang Mal terdiam. Sorot matanya meredup, nanar memandang ke arah laut. Mimik wajahnya berubah-berubah. Sesekali menyungging senyum, tapi kadang mengerutkan dahinya. Tarikan nafas panjangnya seperti menegaskan kepada kami kenangan masa mudanya sama sekali tidak boleh diikuti oleh seluruh anak muda masa kini. Termasuk juga kami.

“Beh jak ta piyoh di rumoh. Kadang awak inong lon kalheuh ditaguen bu. (Ayo singgah ke rumah. Kadang istri saya sudah menyiapkan nasi),” kata Bang Mal mengajak kami mampir di rumahnya.

Kami pun bergegas mengikuti langkahnya. Pesona Pulau Aceh dengan cerita-cerita masa lalunya membuat kami ingin berlama-lama di tempat nan eksotis ini.[Reza Mustafa]

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top